Hutan Sumber Kehidupan Kami

“ Pangale (hutan) Pompalivu tidak boleh dibuka untuk keperluan apapun, pompalivu itu sumber penghidupan kami, disitu tempat kami mengambil bahan makanan, obat-obatan dan keperluan hidup kami lainnya”.  ujar Sofyan warga lipu (kampung) Sumbol.

Hal tersebut diungkapkan Sofyan atau yang biasa di panggil Apa Imel saat mengikuti “Lokakarya Pengelolaan Hutan Adat Wana Posangke” akhir Februari silam. Tau Taa Wana Posangke (Orang Wana Posangke) adalah komunitas adat yang mendiami  lembah dan bukit-bukit di sepanjang aliran Sungai Salato di bagian selatan jazirah timur Sulawesi Tengah.

Secara administrasi pemerintahan, wilayah adat Wana Posangke masuk dalam Kecamatan BungkuUtara Kabupaten Morowali Utara.Pola mukim mereka adalah secara berkelompok (komunal) dalam satuan mukim yang mereka sebut lipu, hingga saat ini teridentifikasi adabeberapa lipu di wilayah adat Wana Posangke diantaranya, Viautiro, Salisarao, Karuru, Sama, Sumbol, Sankioe, Ratobae dan Patuja.
Orang Wana Posangke saat ini sedang memperjuangkan pengakuan hutan adat mereka pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2013, terlebih lagi Pemerintah setempat telah mengakui keberadaan mereka melalui Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.

Bagi Orang Wana Posangke, keberadaan dan fungsi hutan sangat penting dalam menunjang kehidupan subsisten mereka,  hutan mereka  jaga dan manfaatkan dengan penuh kearifan  yang diwariskan secara turun temurun.Untuk menjaga keberlangsungan fungsi hutan, Orang Wana Posangke mengatur pola tata guna hutan dan lahan menjadi beberapa bagian berdasarkan fungsinya.

Daerah Pangale atau rimba belantara adalah hutan primer yang tidak diolah, bagian ini difungsikan untuk perlindungan mata air dan kesuburan tanah. Di beberapa bagian dari pangaleini ada yang dijadikan wilayah Kapali atau larangan yang tak boleh mengambil sesuatu, bahkan ada yang sama sekali tak boleh dikunjungi oleh mereka.
Berikutnya adalah Pangale Pompalivu, wilayah ini adalah area yang dimanfaatkan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu, diantaranya bahan makanan, obat-obatan, damar, rotan dan madu. Kawasan hutan yang menjadi pompalivu ini tak boleh dibuka baik untuk ladang maupun permukiman.  Areal pangale dan pangale pompalivu yang berupa hutan primer inilah yang mendominasi wilayah adat mereka, hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi Yayasan Merah Putih (YMP) menunjukan lebih dari 80 persen wilayah adat mereka adalah pangale dan pompalivu.
Untuk menanam padi dan tanaman jangka pendek lainnya, hanya terbatas dalam area perladangan hutan adat yang mereka sebut Navu. Navu setelah diolah akan ditingggalkan beberapa lama untuk mengembalikan kesuburan tanah, lahan bekas ladang yang telah ditumbuhi pepohonan besar lebih dari sepuluh tahun mereka sebut Yopo Masia, sementara yang belum ditumbuhi pepohonan besar mereka sebut Yopo Mangura.

Yopo manguradan yopo masiayang bisa disebut sebagai hutan sekunder ini mencapai 12 persen dari total luas wilayah adat mereka, selebihnya adalah areal perladangan padi atau navu serta pemukiman mereka. Hal ini membuktikan bahwa tuduhan sistem perladangan rotasi sebagai penyebab rusaknya hutan adalah keliru dan tidak berdasar.

Pelanggaran terhadap sistem dan nilai adat ini akan dikenakan sanksi adat yang mereka sebut Givu.Menurut Iku atau Indo Laku salah seorang tokoh perempuan adat Wana Posangke, bentuk sanksi yang diberikan bergantung pada besarnya kesalahan atau pelanggaran yang dibuat, meski demikian hingga saat ini tak pernah ada anggota komunitas yang melanggar aturan adat ini, Orang Wana Posangke sadar sepenuhnya perlakuan arif mereka terhadap alam akan dibalas alam dengan berkah yang melimpah untuk kehidpan mereka.

Hal ini menunjukan bahwasanya Orang Wana Posangke sangat teguh dalam menjaga kelestraian hutan di wilayah mereka. Beberapa penelitian yang di lakukan disejumlah negara menyebutkan bahwa keberadaan masyarakat adat di kawasan hutan justru membuat hutan lebih terjaga kelestariannya, yang terbaru adalah penelitian dari world resourches institute dan right and resourches initiatives tahun 2014. (edy, murni dan agus)

Lihat Juga

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Tidak Diganggu Saja Tau Taa Bisa Hidup Baik

     13 Agustus 2022, bertempat di Balai Pertemuan Lipu Kasiala Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *