(Jakarta,9/12/2015), Sejak tahun 2013 silam Grup raksasa sawit yang beroperasi di Indonesia, Wilmar International Limited mengeluarkan kebijakan perusahaan tentang No Deforestation, No Peat, No Exploitation. Intinya Wilmar akan melakukan tiga prinsip kebijakan untuk tidak melakukan deforestasi, pembangunan pada lahan gambut, dan tidak akan melakukan lagi eksploitasi sumberdaya manusia diperkebunan-perkebunan sawit milik mereka termasuk pemasoknya.
Namun hingga akhir tahun 2015, sejumlah aktifis Non Goverment Organisation (NGO) meragukan hal tersebut, hal ini mereka ungkapkan saat mengikuti “ Diskusi Publik, Pemantauan Publik atas Kebijakan Wilmar untuk Larangan Deforestasi, Larangan Membuka Gambut serta Larangan Eksploitasi Manusia” yang diselenggarakan oleh Aidenvironment di Balikpapan pada tanggal 7-8 Desember 2015.
Arkilaus Baho dari Yayasan Pusaka yang selama ini bekerja bersama masyarakat adat di Papua mengatakan kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di papua telah melahirkan konflik, perampasan lahan yang menyebabkan kemiskinan bagi Suku Marind di Merauke Papua.
Sementara itu Ahmad Pelor selaku Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah menyatakan ekspansi perkebunan besar kelapa sawit oleh Wilmar di Sulteng semakin meningkatkan konflik agraria di wilayah tersebut. “ Tidak kurang dari 2000 Ha lahan petani di Sulteng diambil secara paksa oleh Wilmar melalui empat anak perusahaannya yakni PT. Wira Mas Permai, PT. Sawindo Cemerlang, PT Delta Subur Permai dan PT. Karunia Alam Makmur.
Di tempat terpisah, dari Banggai, Syamsul aktifis Yayasan Merah Putih mengungkapkan di Kabupaten Banggai kehadiran anak Perusahaan Wilmar yaitu PT Sawindo Cemerlang dan PT. Wira Mas Permai telah melahirkan sejumlah konflik, mulai dari sengketa lahan, penyerobotan kawasan hutan hingga masalah perburuhan.
“Untuk konflik tanah seluas 996 Ha tanah bersertifikat milik masyarakat Bualemo diserobot oleh PT Wira Mas Permai, 300 lebih karyawan diupah dibawah standar UMP, dan 179 tenaga kerjanya di PHK tanpa pesangon. Dinas Kehutanan Banggai juga telah menyatakan perusahaan ini telah menerobos kawasan hutan produksi seluas 4 hektar dan kawasan suaka margasatwa Pati-Pati. Sementara perusahaan Sawindo selain membuka lahan hutan primer juga merampas 30 ha lahan milik warga Desa Sukamaju dan mengkriminalisasi warga setempat” ungkap Samsul.
Atas sejumlah temuan dan fakta-fakta tersebut, sejumlah NGO yang hadir meragukan komitmen Wilmar, mereka menilai secara konsep kebijakan ini sudah baik, namun secara aplikasi serta management komunikasinya belum menunjukan keseriusan, buktinya masih begitu banyak kasus-kasus yang terjadi dan belum diselesaikan. Bisa jadi melalui kebijakan ini Wilmar ingin dilihat sebagai perusahaan yang menyelamatkan lingkungan dan peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (Edy)