Menggali Solusi dalam menjawab tantangan Pendidikan khusus dan layanan khusus bagi komunitas adat di Sulawesi Tengah

        Supardi Lasaming* 

Yayasan Merah Putih selaku anggota Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JAPKA) menggelar kegiatan lokakarya sehari bertema; “Menggali Solusi dalam menjawab tantangan Pendidkan khusus dan layanan khusus bagi komunitas adat di Sulawesi Tengah”, dengan menghadirkan peserta dari pengawas skola lipu, guru-guru lokal skola lipu serta pendamping skola lipu, di salah satu hotel di kota Palu 27/4/2017 lalu

Kiky Reski Amalia selaku Ketua panitia mengungkapkan bahwa kegiatan ini didasari atas peran Yayasan Merah Putih (YMP) dalam menfasilitasi dan mendampingi penyelenggaraan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat adat Taa Wana yang dikenal dengan skola lipu di wilayah Kabupaten Morowali utara dan Kabupaten Tojo Una-una. Lebih lanjut, Kiky mengungkapkan bahwa ada 3 tujuan dari penyelenggaraan kegiatan lokakarya ini, yaitu: pertama, menginternalisasi tujuan pendidikan layanan khusus bagi komunitas adat di Sulteng sesuai Permendikbud 72 Tahun 2013. Kedua, menggali peluang dan tantangan Pendidkan khusus dan layanan khusus bagi komunitas adat di Sulawesi Tegah dan Ketiga, merumuskan rencana aksi penguatan PKLK untuk komunitas adat di Sulteng.

Sementara itu,  Azmi Sirajudin manajer program YMP mengungkapkan “urgensi kegiatan ini, didasari atas kondisi masih belum pahamnya publik terkait dengan kebijakan penyelengaraan pendidikan khusus dan layanan khsusus, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI NOMOR 72 TAHUN 2013”.

YMP sebagai organisasi pendampingan penyelenggaraan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat adat Taa Wana memandang penting untuk menginternalisasi pemahaman tersebut kepada guru lokal dan masyarakat adat Taa Wana sendiri, agar para pengelola skola lipu dapat menepis beragam presepsi yang keliru dalam memahami penyelenggaraan skola lipu, karena pada perkembangannya, dijumpai adanya presepsi dari beberapa pihak yang menjustifikasi model skola lipu ini adalah sekolah ilegal karena tidak mencerminkan model sekolah kebanyakan. Ini menunjukkan bahwa masih banyak pihak yang memiliki keterbatasan pengetahuan dalam memahami model penyelenggaraan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat adat.

Padahal jika merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI NOMOR 72 TAHUN 2013 ditegaskan bahwa Pendidikan Layanan Khusus (PLK) adalah suatu bentuk sekolah alternatif yang mengakomodasikan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Selain itu, menurut pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI NOMOR 72 TAHUN 2013 dijelaskan bahwa: (1) Penyelenggaraan PLK bertujuan menyediakan akses pendidikan bagi peserta didik agar haknya memperoleh pendidikan terpenuhi. (2) Ruang lingkup penyelenggaraan PLK meliputi jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal pada semua jenjang pendidikan.

Jadi aspek kebijakan inilah yang menjadi dasar pijak bagi Yayasan Merah Putih dan masyarakat adat Taa Wana dalam mengembangkan dan menyelenggarakan layanan pendidikan skola lipu. Karena, jika melihat realitas dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI NOMOR 72 TAHUN 2013 khususnya di Sulawesi Tengah, maka dapat dijumpai suatu kondisi dimana anak-anak usia skolah di daerah terpencil yang diidentifikasi sebahagian besar adalah masyarakat adat dan tidak mampu dari segi ekonomi, pada kenyataannya belum terlayani haknya dalam memperoleh layanan pendidikan seperti halnya Komunitas Adat Tau Taa Wana di Kab. Morowali Utara dan Kab. Tojo Una-Una.

Fakta-fakta lain yang dijumpai adalah pertama, problem buta aksara yang secara umum dihadapi komunitas adat Taa Wana yang “dimanfaatkan” orang luar untuk mengeksploitasi mereka manakala bertransaksi jual beli dan begitupun beragam stigmatisasi bagi mereka sebagai masyarakat terasing dan lain-lain .

Kedua, adanya beban psikologis bagi masyarakat adat Taa Wana terhadap lingkungan sekolah formal; ketika masyarakat adat hendak mengakses layanan pendidikan, mereka kadangkala diperhadapkan dengan bentuk-bentuk deskriminasi dari segi pelayanan karena masih menjunjung tinggi adat dan agama dari leluhurnya, tidak memiliki KTP dan akte kelahiran, padahal mereka juga adalah bahagian integral dari warga negara yang harusnya dijamin haknya secara konstitusi untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai kebutuhannya, sementara dijumpai pada bentuk layanan pendidikan formal kadangkala mempersaratkan itu.

Ketiga, Keseharian hidup orang wana yang umunya bergantung pada hutan, dan bermukim pada kondisi geografis dataran tinggi, melintasi sungai yang rawan dengan banjir sangat beresiko tentunya sangat rawan untuk dapat menjangkau layanan pendidikan formal yang disediakan oleh pemerintah yang umumnya pada pusat-pusat desa.

Keempat, maraknya ancaman destruktif dari pihak luar terhadap wilayah adat maupun ancaman bagi sumber-sumber penghidupan orang wana dimana menjadikan mereka memiliki kesadaran untuk bersekolah dengan sekolah berdasarkan hasil penggalian gagasan mereka yang dikenal sekarang ini dengan model skola lipu.

Bagi YMP sendiri, sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Jaringan Pendidikan Komunitas Adat (JAPKA) memandang penting untuk memberi perhatian secara serius terhadap kondisi layanan pendidikan yang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat menjangkau anak usia sekolah pada sebahagian besar komunitas adat yang menyebar di Indonesia.

Pada kondisi inilpula kebijakan pendidikan layanan khusus tidak hanya diharapkan dapat menjadi payung hukum semata, akan tetapi juga menjadi program nyata dari pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan layanan khusus bagi masyarakat adat.

Tidak seperti kondisi saat ini dimana dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan layanan khsusus bagi masyarakat adat masih sangat minim. Kondisi ini menunjukkan bahwa pogram pendidikan layanan khusus di Sulawesi Tengah belum sepenuhya dapat menciptakan pemerataan pendidikan dan dapat menyediakan kesempatan bagi masyarakat adat untuk memperoleh layanan pendidikan berdasarkan kondisi lokalnya. Padahal, konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) secara tegas mengamanatkan bahwa : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Ayat (2): “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Pada kegiatan ini juga, hadir Kepala Bidang Pendidikan PK-LK Propinsi Sulawesi Tengah, Dr.Minarni Nongtji S.Pd.Msi, yang  pada kesempatan itu mengungkapkan komitmennya untuk mendukung penyelenggraan skola lipu melalui dukungan program pemerintah daerah. Setidaknya komitmen yang disampaikan oleh  Minarni mewakili komitmen pemerintah daerah untuk menghadirkan tanggungjawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya bagi masyarakat adat Taa Wana dalam menyelenggarakan skola lipu.

Diakhir kegiatan diperoleh gambaran bahwa permendikbud No.72 tahun 2013 masih memiliki kelemahan sehingga dipandang penting untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan agar lebih sensitif dan responsif terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat adat kedepan.

*Penulis adalah Program Officer Skola Lipu dan Manajer Kantor Lapangan Morowali Utara Yayasan Merah Putih

Lihat Juga

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...

Peta Jalan Hutan Adat Disusun

PALU, MERCUSUAR – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah, serta unit pelaksana ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *