Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang rutin dan bercorak familistik serta perilaku sosial yang normatif berdasarkan adat istiadat. Secara administratif masyarakat hokum adat Taa Wana Posangke berada di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah. Kekayaan alam yang dimiliki komunitas ini menjadi ‘incaran’ pemodal untuk merampas lahan untuk perluasan produksi usahanya. Ketidaktahuan dan kurangnya informasi sehingga lahan masyarakat menjadi terancam. Mengatasi hal tersebut masyarakat setempat melakukan mogombo bae.

Tradisi Mogombo
Tradisi ini merupakan salah satu tradisi Tau Taa Wana yang memiliki fungsi sosial yaitu fungsi relasi dan fungsi penegakan aturan/hukum adat. Ketika Tau Taa Wana mengalami gejolak sosial, Mogombo (musyawarah adat) difungsikan menjadi alat untuk membicarakan mengenai masalah-masalah yang terjadi. Keputusan dalam Mogombo adalah keputusan adat yang harus diterima dan dihormati setiap orang. Menurut Apa Laku (62 tahun) “gunanya Mogombo untuk membicarakan sehari-hari hidup (tata cara hidup bermasyarakat) yang baik dan mana yang tidak baik.
Mogombo merupakan cara ideal dalam tata kehidupan sosial mereka. Magombo Bae pada akhir Juni 2023 yang terselenggara atas kerjasama Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Lembaga Pengelola Hutan Adat dan YMP Sulteng. Mogombo yang difasilitasi Nuryani ini, didapatkan gambaran masalah apa saja yang mengancam kehidupan masyarakat hukum adat. Hasil mogombo membeberkan masalah-masalah yang terjadi, pertama adanya rencana tambang masuk di wilayah ini. Lipu Rapakakuni, Sivoru dan Temungku Monongo, oleh PT MRT dijadikan lokasi dalam pengambilan sampel (eksplorasi) nikel. Kedua, Terjadi Perubahan cuaca. Menurut salah satu petani sekarang terasa sulit saat musim tanam karena cuaca susah diprediksi. Saat musim hujan berkepanjangan – curah hujan tinggi menyebabkan gagal panen dan ketika banjir masyarakat di Lipu Salisarao tidak bisa menyeberang ke desa untuk menjual hasil produksi dan membeli kebutuhan pokok masyarakat. Ketiga diksriminasi. Masyarakat di wilayah ini sebagian belum memiliki KTP dan KK sehingga pelayanan dasar belum terdistribusi secara adil. Tidak hanya itu pada pelayanan dasar kesehatan masih terjadi diskriminasi. Ketika berobat petugas menanyakan identitas agama, ungkap Indo Ketong.
Menanggapi persoalan itu, menurut Amran sebaiknya Kepala Desa memberikan pencerahan kepada petugas medis agar jangan ada perbedaan perlakuan pada masyarakat hukum adat karena hal tersebut melanggar hak asasi manusia. Permintaan dari Direkrur YMP Sulteng ini oleh Kepala Desa Taronggo, Pamang menyatakan siap mengkomunikasikan dan melayani keluhan warga tersebut.
Terkait rencana masuknya tambang di wilayah ini, umumnya indo-indo (ibu-ibu) menolak keberadannya. ‘Tolak’, ungkap Indo Laku, ia beralasan masuknya tambang tanaman menjadi tidak subur, bisa terjadi longsor, dan mengancam lipu (kampung).
Persoalan perubahan iklim yang terjadi di wilayah ini, hasil mogombo merencanakan minimal menjaga ekosistem dengan menanam pohon, melakukan praktik pertanian bebas pupuk kimia (pestisida) dan yang lebih penting lainnya adalah menjaga sumber mata air bersih dengan melindungi dengan cara tidak menebang pohon di sekitar mata air atau melakukan usaha penghijauan kembali. ipul

 

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *