Pengelolaan Tanah ala Leluhur Mulai Bergeser
UNTUK menuju Lipu (Kampung Tradisional) Rano, kami harus melalui Mpoa, sebuah Lipu yang dulunya menjadi benteng Tau Taa Wana yang kemudian bermetamorfosa menjadi desa baru. Di sana telah berdiri Gedung Balai Desa, Pustu dari tahun 2016, Sekolah Dasar sejak 2004, dan Masjid yang masih dalam tahap pengerjaan, Mpoa benar-benar menyiapkan dirinya untuk menjadi desa seutuhnya. Terlebih lagi jalan yang menghubungkan Ampana – Toili akan melintas di desa ini.
Mpoa berbentuk lembah yang dikelilingi bukit, memiliki pemandangan indah dengan gunung Rapampue sebagai ikonnya. Wilayah Mpoa di awal tahun 2000an dihuni oleh 100 kepala keluarga yang kesemuanya suku asli Tau Taa Wana, namun sekarang jumlah itu bertambah menjadi 173 Kepala Keluarga, 73 di antaranya adalah penduduk yang berasal dari luar Mpoa. Sementara beberapa keluarga Tau Taa Wana memilih pindah lebih jauh ke dalam hutan yang saat ini dikenal dengan Rano.
Program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari Kementerian Sosial masuk ke Mpoa tahun 2004 dalam bentuk pembangunan rumah layak huni dari papan. Beberapa unit dari rumah ini masih berdiri hingga sekarang, sebagian terlihat kosong, sebagian lagi berubah menjadi rumah permanen dan usaha kios permanen. Sebagiannya bahkan tidak lagi ditinggali penduduk asli.
MasyarakatTauTaa Wana yang masih ingin hidup baik menurut standar mereka menyingkir ke Rano. Perjalanan menuju Rano membutuhkan waktu 15 menit dengan kendaraan motor roda dua. Setelah makan malam di Mpoa, kami langsung menuju Rano.
Kediaman Indo As menjadi tujuan kami. Sebuah rumah panggung berdinding papan, beratap seng dan berpenerang lampu listrik dari mesin genset Rumah ini berdiri tepat di pinggir jalan alternatif Ampana – Toili.
Hanya ada 5 rumah yang berdekatan dengan rumah Indo As, rumah lain berjarak ratusan meter, bahkan ada yang berkilo-kilo meter ke dalam hutan. Beberapa orang berkumpul di rumah ini saat kami tiba, mungkin karena rumah Indo As menjadi satu-satunya rumah yang menggunakan listrik. Kami berbincang sesaat dan memilih bermalam di rumah adat Banua Baeyang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah Indo As. Letaknya tepat di dekat danau kecil yang menjadi asal nama wilayah ini. Rano.
Apa Inse menjadi nara sumber utama kami ke esokan harinya. Apa Inse sengaja datang ke rumah Indo As untuk menemui kami, rumahnya berada di kebun dalam hutan dan berjarak satu jam perjalanan.
“Kondisi Tau Taa Wana sekarang ini serba susah” ucap Apa Inse mengawali jawabannya untuk pertanyaan kami. Tangannya meraih kotak anyaman berisi tembakau, melintingnya dalam lembaran kulit buah jagung yang sudah kering.
“Mulai dari adat sampai kebiasaan pengelolaan tanah yang dilakukan leluhur mulai bergeser. Harus ada yang dilakukan agar kami bisa hidup dengan cara kami, cara yang kami yakini baik, dan memang terbukti baik selama ratusan tahun,” kata Apa Inse.
Apa Inse mulai bercerita bahwa semua warga saat ini kaget dengan munculnya trend tanaman Nilam. Semua warga terutama di Mpoa menanam Nilam, usaha penyulingan milik pengusaha dari luar Mpoa hadir. Pola tanam masyarakat Tau Taa Wana pun terganggu.
“Dulu kami tidak pernah membeli beras, karena beras menurut leluhur adalah sumber kehidupan, harus ditanam, tidak boleh tidak. Tapi sekarang orang berlomba-lomba menanam Nilam sampai berhutang sama pengusaha penyulingan, hasilnya baru dibelikan beras. Ini jadi sejarah bahwa orang Tau Taa Wana hari ini telah membeli beras, dan telah berhutang” kata Apa Inse dengan senyum kecut.
Menurut Apa Inse pola dan siklus tanam tradisional harus terus dihidupkan sebab kalau pola yang saat ini diterapkan, maka akan terjadi perubahan besar terhadap kondisi tanah dan dalam tubuh masyarakat Tau Taa Wana itu sendiri. Apa Inse menyebutkan penggunaan Herbisida sangat mengganggu, pada hal mereka punya cara sendiri untuk mengatasi gulma dan hama. Ini menjadi salah satu alasan kenapa mereka memilih menyingkir jauh ke dalam hutan.
“Saya juga punya tanaman Nilam, tapi itu bukan jadi tanaman utama. Padi harus jadi prioritas, begitu juga ubi dan tanaman lain. Buktinya, di Mpoa sudah tidak ada Paraa (Pesta Panen), bagaimana mau Paraa kalau Padi su¬dah tidak ada? Padahal ada banyak nilai-nilai penting dalam pesta Paraa,” tutur Apa Inse.
Selain berkebun, masyarakat adat Tau Taa Wana juga bergantung pada hutaa selain sebagai sumber penghidupan hutan juga merupakan ruang hidup bagi mereka. Sambil menunggu panen tiba; mereka biasa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) untuk menambah penghasilan mereka.
Tau Taa Wana adalah penjaga hutan yang baik, terbukti mereka memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan mereka. Di antaranya, Pangale Pamplivu yaitu hutan yang mereka gunakan untuk mencari sumber penghidupan, seperti damar, rotan dan madu. Pangale Kapali yaitu hutan larangan atau suaka adat, dan Pangale Bose yaitu hutan rimba yang dijaga untuk cadangan air.
Mereka juga telah mendengar bahwa hutan adat telah diakui negara sebagai hutan hak. Sesuai putusan MK No.35 tahun 2012. Olehnya Hutan Adat menjadi sesuatu yang sangat diharapkan oleh Apa Inse dan beberapa keluarga Tau Taa Wana di wilayah Rano.
Untuk menuju pengakuan negara atas hutan adat mereka, kini masyarakat adat Tau Taa Wana telah memiliki pra syarat menuju pengakuan tersebut, karena kini telah ada perda Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana no.11 tahun 2017 di Kabupaten Tojo Una-Una.
Suku Wana luar yang sudah hidup seperti warga pada umumnya, menurut Apa Inse bisa menjadi penghubung yang baik antara peradaban luar dengan komunitas Wana yang masih menjaga adat istiadatnya.
“Tidak ada masalah, justru mereka bisa menjembatani dialog antara budaya asli dan budaya luar, yang jadi persoalan jika kebijakan pemerintah ingin menyeragamkan nilai dan aturan, karena baik di sana belum tentu baik di sini.
“Ucapan Apa Inse ini mengingatkan saya pada perkataan Nasution Camang, anggota DPRD Sulawesi Tengah tujuh tahun lalu, “Jika kita ingin melakukan pembinaan terhadap satu komunitas, kita perlu pahami dulu identitas budaya mereka, karena standar kebaikan menurut kita belum tentu baik menurut mereka.
“Sementara Budiman Makasau yang menjadi pejabat Kepala Desa Mpoa pertama sejak sistem Lipu berakhir 2012 lalu, sangat ingin Mpoa bisa mengejar ketertinggalannya dari desa-desa lain. “Ya, Setidaknya kalau teman-teman lain bisa beli motor diupayakanlah kita juga bisa,” kata pria yang siat ini telah memiliki tiga unit sepeda motor ini.
Perubahan memang menjadi sesuatu yang kekal, tapi proses menuju perubahan sangatlah penting. Perubahan yang menghapus identitas masyara katakan menjadi malapetaka, seperti kata Sosiolog Muslim Ali Shariati “Orang yang kehilangan identitas adalah budak yang paling baik” (Ojan)
sumber : Metrosulawesi Edisi Senin 20 November 2017 Hal 14