Rapat Kerja Teknis Hutan Adat Tahun 2016

Jakarta, 28 Desember 2016: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) membuka Rapat Kerja Teknis Hutan Adat Tahun 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Hotel Santika Jakarta.

Rapat tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bupati Bulukumba, Staf Khusus Menteri, Penasehat Senior Menteri dan Eselon II Kementerian LHK terkait, perwakilan provinsi dan kabupaten, perwakilan masyarakat hukum adat dan pendamping masyarakat hukum adat (MHA).

Rapat Kerja Teknis Hutan Adat yang dihadiri oleh 150 orang ini bertujuan untuk mensosialisasikan pengakuan hutan adat oleh Pemerintah pasca ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/ 2012 tanggal 16 Mei 2013, dimana Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat masyarakat hukum adat dan bukan lagi Hutan Negara.

Keputusan ini juga sekaligus sebagai landasan bagi pemerintah untuk membangun pola interaksi dengan masyarakat hukum adat dan bertukar informasi serta melakukan tindak lanjut yang harus dilaksanakan setelah adanya penetapan hutan adat disuatu wilayah, sehingga esensi dari putusan tersebut adalah bahwa masyarakat memiliki akses kelola kawasan hutan adat sesuai dengan kearifan lokal.

Setelah pembukaan oleh Menteri LHK, dilanjutkan paparan oleh; 1) Direktur Jenderal PSKL dengan tema Kebijakan Pengaturan Hutan Adat sebagai Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat; 2) Abdon Nababan (AMAN) dengan tema Hutan Adat sebagai Perwujudan pengelolaan Hutan Yang Adil; 3) Direktur Jenderal PKTL dengan tema Filosofi Hutan Adat; 4) Noer Fauzi Rachman (KSP) dengan tema Hutan Adat Sebagai Wujud Pengakuan Hak Konstitusional Warga; 5) Dahniar (HUMA) dengan tema Share Learning: Pendampingan Masyarakat Hutan Adat, dan diskusi.

Sampai dengan saat ini tercatat ada 8 (delapan) Hutan Adat (HA) yang telah selesai di verifikasi, yaitu; 1) HA Desa Rantau Kermas seluas 130 Ha, Kabupaten Merangin; 2) HA Bukit Sembahyang dan Padun Gelangan seluas 39,04 Ha, Kabupaten Kerinci; 3) HA Bukit Tinggai seluas 41,27 Ha, Kabupaten Kerinci; 4) HA Tigo Luhah Permenti Yang Berenam seluas 152 Ha, Kabupaten Kerinci; 5) HA Tigo Luhah Kemantan seluas 426 Ha, Kabupaten Kerinci; 6) HA Ammatoa Kajang seluas 313,99 Ha, Kabupaten Bulukumba; 7) HA Wana Posangke seluas 6.291 Ha, Kabupaten Morowali Utara; 8) HA Kasepuhan Karang seluas 485,386 Ha, Kabupaten Lebak. Terdapat juga satu kawasan calon lokasi hutan adat, yaitu HA Tombak Haminjon seluas 5.172 Ha di Kabupaten Humbang Hasundutan, Prov. Sumatera Utara, yang sedang dalam proses.

Menteri LHK menyampaikan bahwa proses penetapan hutan adat sangat dinamis dan spesifik serta telah ada pengurangan kawasan hutan yang dikelola oleh pemegang konsesi di Sumatera Utara dimana konsesi-konsesi ini dijadikan hutan adat yang luasnya sebesar 5.172 Ha. Sedangkan Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan menyampaikan bahwa masyarakat adat telah menunggu selama 71 tahun Indonesia merdeka, Hutan Adat baru diakui saat ini, ini akan membuat masyarakat adat itu benar-benar hadir dan ada di negara ini secara administratif.

Selain itu terdapat catatan penting dari paparan dan diskusi yang berlangsung, dimana sebagian masyarakat hukum adat ingin sekali menyaksikan keputusan tentang Penetapan Hutan Adat ini.

Menteri LHK mengakhiri pertemuan dengan merangkum beberapa hal, antara lain:

Pada rapat telah dibahas justifikasi penetapan hutan adat dengan segala latar belakangnya, penegasan 9 (sembilan) entitas masyarakat adat dan bagaimana masyarakat hukum adat kedepannya. Ini merupakan langkah berani yang dilakukan negara dalam hal ini Kementerian LHK.

Pedoman yang ada baik berupa undang-undang untuk sistem administrasi dan hak-hak masyarakat adat masih dapat digunakan, sementara itu akan tetap dilakukan pendampingan atas hak komunal masyarakat hukum adat.

Koherensi tiap regulasi dari berbagai instrumen mengenai masyarakat hukum adat, yang salah satu instrumennya adalah program nasional untuk pengurangan emisi karbon di Indonesia. Instrumen KPH juga merupakan jalur yang cukup strategis yang dapat digunakan oleh daerah dalam pelaksanaan pengelolaan hutan adat.

Peresmian pengakuan hutan adat sangat penting dan hal ini merupakan program yang paling menjadi perhatian oleh Presiden Republik Indonesia.

Pengakuan masyarakat adat dan hak kelola kawasan hutan hukum adat, memang memungkinkan terjadinya kontradiksi nilai, namun hasil dari perjalanan panjang diskusi Perhutanan Sosial yang telah dilakukan lebih dari belasan tahun ini meyakini dengan tata ruang hutan yang baik, pengelolaan kawasan hutan lebih terproteksi, karena kawasan ini merupakan kawasan tumpu, kawasan dukung yang menopang hidup masyarakat di kawasan hutan adat Indonesia.

sumber : pressrealese.id

Lihat Juga

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Tidak Diganggu Saja Tau Taa Bisa Hidup Baik

     13 Agustus 2022, bertempat di Balai Pertemuan Lipu Kasiala Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *