Rehabilitasi Poboya dan Dimensi Hak Azasi Manusia

Oleh Azmi Sirajuddin

Mengapa Poboya Direhabilitasi

Pada bulan Februari 2017, bertempat di ruang Polibu Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, rapat koordinasi multipihak untuk rehabilitasi Poboya diselenggarakan. Hasil dari rapat koordinasi tersebut menyepakati jika pemerintah akan melakukan rehabilitasi total terhadap areal penambangan emas tanpa izin (PETI). Salah satu pintu masuk merehabilitasi areal itu adalah dengan skema perhutanan sosial.

Mengingat bahwa sebahagian dari wilayah Kelurahan Poboya masuk ke dalam Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulteng, berdasarkan Peraturan Daerah Sulawesi Tengah No.2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan TAHURA Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, disepakati juga bila upaya rehabilitasi Poboya pasca penanganan PETI adalah mengintegrasikannya dengan tahapan penataan blok TAHURA Sulteng. Hal ini diharapkan terjadi mengingat eks lahan PETI juga sebahagian masuk ke dalam kawasan TAHURA Sulteng.

Lantas mengapa Poboya urgen direhabilitasi? Ada tiga alasan utama mengapa Poboya menjadi perhatian serius pemerintah. Alasan pertama, aktivitas PETI di wilayah itu sudah sangat memprihatinkan, dengan terjadinya perubahan bentang alam alamiah. Dari semula merupakan hamparan lahan pertanian dan perkebunan rakyat, berubah menjadi lahan perbukitan tandus disertai bekas lubang galian berdiamter luas, dengan warna tanah yang sudah menguning dan kecoklatan akibat genangan buangan bahan kimia, diduga Sianida dan Merkuri. Luas lahan PETI itu tidak tanggung-tanggung kini mencapai 42,3 hektar, berdasarkan temuan awal tim pemerintah. 3,6 hektar di antaranya digunakan untuk lokasi perendaman bahan baku, dengan menggunakan cairan Merkuri.

Alasan kedua, munclnya permasalahan sosial baru di wilayah Poboya. Aktivitas PETI yang membludak  sejak tahun 2009 silam telah mengundang kehadiran ribuan warga dari luar Sulawesi Tengah. Umumnya mereka adalah warga pelaku tambang skala kecil dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Mereka ini sesungguhnya sudah malang-melintang di aktivitas pertambangan emas skala kecil, serta berpindah-pindah ke lokasi PETI lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, di antara mereka ada pula yang merupakan pemilik modal kerja. Sehingga, sesungguhnya dari struktur akumulasi penguasaan manfaat dari aktivitas PETI di Poboya adalah warga dari luar Sulawesi Tengah. Bahkan warga lokal Poboya umumnya hanya sebagai buruh atau pekerja di setiap bos Tromol dan mandor lubang Avanza. Alasan ketiga dan mungkin sangat krusial adalah maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya, Merkuri. Hasil penelitian sejumlah ahli dari berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi, misalnya hasil riset tim peneliti dari UNTAD menemukan bila kandungan Merkuri di sampel udara dan air sudah melebihi ambang batas kewajaran (berdasarkan ketentuan WHO). Parahnya lagi, ternyata kandungan logam berat itu sudah sejak lima tahun terakhir mencemari udara dan air dari Poboya ke Kota Palu. Secara kesehatan, warga di Kota Palu menjadi sasaran langsung dari tercemarnya udara dan air Poboya. Apalagi, air Sungai Poboya mengalir dan bermuara ke Teluk Palu.

Dimensi Hak Azasi Manusia

Memang ada suara-suara tak setuju dari rencana rehabilitasi Poboya. Mereka yang tidak setuju menjadikan alasan “mencari sesuap nasi” dari aktivitas PETI di Poboya. Dengan menafikan fakta bahwa mereka sebenarnya turut andil membiarkan penggunaan Merkuri dalam aktivitas pertambangan. Mereka juga menafikan fakta jika limbah buangan Merkuri justru mengalir seiring aliran sungai Poboya menuju Teluk Palu. Dengan alasan “sesuap nasi”, mereka juga tega membiarkan ratusan ribu warga Kota Palu kelak akan terpapar penyakit akibat dampak buangan limbag Merkuri yang tidak terurai di atas udara Kota Palu, maupun yang masuk ke sumber air minum, mengingat salah satu sumber air PDAM Kota Palu berasal dari Sungai Poboya.

Salah satu prinsip dasar hak azasi manusia ialah “pengutamaan kepentingan diri ataupun kelompok tidak boleh melanggar hak azasi kepentingan orang lain”. Jika hal ini adalah prinsip dasar, maka seluruh pihak yang mengeruk keuntungan dari aktivitas PETI di Poboya mesti diedukasi. Tentunya bukan perkara mudah, sebab pihak-pihak tersebut sudah terlanjur merasa nikmat di zona nyaman. Di sisi lain, situasi keterlanjuran yang sudah cukup lama jika dihitung sejak mula tambang emas Poboya mulai dikenal, yang lambat laun mencipatakan ketergantungan warga lokal Poboya terhadap aktivitas PETI. Bahkan mereka rela meninggalkan profesi dulunya sebagai petani dan peternak. Bukan hanya itu, tanah-tanah mereka pun direlakan untuk dikontrak sebagai areal PETI.

Dimensi hak azasi manusia lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah proses rehabilitasi itu sendiri. Karena dalam proses rehabilitasi yang direncanakan, terdapat upaya penegakan hukum, karena berkaiatan dengan upaya “clean up” atau pembersihan. Oleh sebab itu, organisasi masyarakat sipil di daerah ini seperti WALHI Sulteng dan Yayasan Merah Putih dalam rapat koordinasi tersebut menghimbau kiranya penegakan hukum di areal PETI di Poboya dilakukan secara tegas, tapi tidak melanggar hak azasi mansuia. Penegakan hukum yang tegas itu meliputi tindakan tegas terhadap oknum di balik perdagangan dan peredaran Merkuri di Poboya. Juga tindakan tegas terhadap empat perusahaan tambang asing yang ikut mengeruk keuntungan dari tambang emas Poboya, termasuk menindak oknum yang memfasilitasi masuknya perusahaan asing beroperasi secara ilegal di Poboya.

Resolusi Mutakhir

Memang saat ini, rehabilitasi areal terdanpak PETI di wilayah Poboya melalui skema perhutanan sosial adalah solusi yang paling berpeluang dilakukan. Apalagi dengan kesediaan pihak KLHK, Pemprov Sulteng dan Pemkot Palu untuk memilih perhutanan sosial sebagai jalan tengahnya. Walaupun juga disadari betul bahwa proses yang akan ditempuh tidaklah mudah. Mengingat sudah cukup lama keterlanjuran aktivitas PETI meninabobokan warga Poboya itu sendiri. Apalagi, ada problem sebelumnya yang dipersoalkan oleh  warga Poboya. Yaitu keberadaan TAHURA Sulteng seluas 7.128 hektar, yang memasukan sebahagian wilayah Poboya ke dalam kawasan, Sesuai SK. Menhutbun Nomor 24/Kpts-II/1999 tanggal 29 Januari 1999. Oleh masyarakat Poboya beserta kelompok masyarakat lainnya di sekitar TAHURA Sulteng seperti warga Ngapa Vatutale di Kelurahan Tondo, kawasan konservasi ini dianggap membatasi akses kelola masyarakat terhadap hasil-hasil hutan non-kayu. Padahal, dahulunya, kawasan yang ditetapkan sebagai TAHURA adalah wilayah adat orang Poboya maupun Vatutela.

Problem lainnya adalah pemberian izin konsesi pertambangan oleh pemerintah pusat kepada PT.Cipta Palu Mineral, dahulunya anak perusahaan Bakrie Grup melalui PT. Bumi Resource Tbk, dengan total luas konsesi Kontrak Karya Pertambangan emas di Sulawesi mencapai 138.889 hektar. Untuk Blok Palu Poboya seluas 37.020 hektar. Masyarakat Poboya dan sekitarnya memandang jika hal ini tidak adil. Karena di sisi lain, masyarakat dibatasi aksesnya oleh keberadaan TAHURA Sulteng, sedangkan di sisi lain pula pemerintah justru memberikan sebahagian areal di kawasan TAHURA untuk konsesi pertambangan kepada perusahaan PT.CPM. Inilah dimensi ketidak adilan yang tentunya berdimensi hak azasi manusia yang juga mesti dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah.

Namun di balik rencana rehabilitasi itu, juga ada solusi lain yang mungkin akan dilakukan pasca rehabilitasi Poboya. Salah satu gagasan Pemprov Sulteng ialah memohon penciutan areal konsesi PT.CPM di blok Poboya.  Dari luasan 37.020 hektar menjadi 25.020 hektar. Sehingga ada sisa penciutan seluas 12.000 hektar yang dapat dikonversi kelak menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR), yang dapat diperuntukan bagi aktivitas tambang rakyat di Poboya secara legal dan resmi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Minerba. Usulan penciutan areal blok CPM ini sebelumnya sudah pernah disuarakan oleh JATAM Sulteng di masa lalu.

Artinya, jika gagasan pertambangan rakyat dalam skema WPR ini hendak diseriusi oleh pemerintah dalam konteks mencari solusi PETI di Poboya, maka diperlukan kajian yang komprehensif dari berbagai aspek. Termasuk memastikan peruntukan WPR ini nantinya benar-benar diperuntukan bagi warga Poboya dan sekitranya.  Dengan membangun model tata kelola WPR yang berkeadilan, bermanfaat bagi masyarakat, serta paling penting ialah menjaga keberlangsungan lingkungan hidup kita agar tidak rusak seperti halnya yang terjadi di aktivitas PETI.
—————————–
*Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Harian Radar Sulteng edisi 27 Maret 2017

Lihat Juga

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Tidak Diganggu Saja Tau Taa Bisa Hidup Baik

     13 Agustus 2022, bertempat di Balai Pertemuan Lipu Kasiala Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *