“Ketersediaan Informasi Geografi yang akurat pada satu peta rujukan, dapat mewujudkan pengambilan keputusan yang lebih efisien, efektif dan komunikatif,” Sora Lukito
“Perbedaan peta rujukan kawasan hutan antara BKSDA Sulawesi Tengah dengan BPKH Wilayah XVI Palu,membingungkan pihak penyidik Polda Sulteng saat menyidik kasus pertambangan GRP di dalam Cagar Alam Morowali” jelas Azmi Sirajuddin.Menurutnya perbedaan itu menimbulkan ketidak-pastian hukum dalam kasus tersebut. “Hal ini merugikan masyarakat yang menerima langsung dampaknya, sebab penebangan hutan alam oleh industri pertambangan terus berlanjut” tambah Azmi Sirajuddin yang merupakan salah satu anggota tim perumus draft usulan kebijakan satu peta dan hutan. Puncaknya adalah ketidakadilan pengelolaan ruang dan konflik agraria.
“Tak heran jika begitu banyak kasus yang berakhir pada kerugian bagi masyarakat, mulai dari penyingkiran, perampasan, kriminalitas,hingga dampak yang harus mereka terima dari aktifitas izin perusahaan, ungkap Zaiful. Yang paling buruknya lagi menurut pengamat sosial ini, bahwa semakin erkurangnya tutupan hutan dengan laju kerusakan ditiap tahunnya, menyebabkan ancaman bencana karena kerusakan ekologi.
Menata kembali perpetaan yang berkeadilan di Indonesia, merupakan suatu yang mutlak diperlukan. Hal ini seiring dengan apa yang diungkap Susilo Bambang Yudoyono (mantan Presiden RI) yang mengeluarkan ide untuk mengadakan satu peta rujukan yang digunakan oleh semua sektor dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Ide itu muncul saat SBY melihat perbedaan peta antara Kementrian Kehutanan dan Kementrian Lingkungan Hidup. Bahkan untuk menggulirkan konsep ini, dikeluarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 tentang informasi geospsasial. “Informasi geospasial harus diselenggarakan secara demokratis, tertib,terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna agar terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum.”, tegas di Pasal 2 UU ini.
Kebijakan Satu Peta Rujukan tentu menjadi satu harapan baru dalam memperbaiki tata kelola hutan yang ada di indonesia. Sehingga setiap sektoral yang kebijakannya bersentuhan langsung dengan tanah dan kawasan hutan diharapkan untuk bersegera membenahi data spasial yang mereka miliki. “Ketersediaan Informasi Geografi yang akurat pada satu peta rujukan, dapat mewujudkan pengambilan keputusan yang lebih efisien, efektif dan komunikatif,” jelas Sora Lukito, Kepala Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Badan Informasi Geospasial. Ferra Rifni Nusa.
Sumber: SILO edisi 57 tahun 2014