SAAT penulisan Silo Edisi ini, beberapa kejadian bencana alam banjir dan kekeringan tengah menerpa beberapa daerah di Indonesia, di Sulawesi tengah sejumlah daerah pun tak luput dari terjangan banjir, bahkan Kabupaten Toli-toli sempat mengalami kelumpuhan akibat dari banjir bandang. Kejadian banjir dan sejumlah kasus kekeringan ini erat kaitannya dengan laju kerusakan hutan di Indonesia yang kian meningkat.
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah , dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit (Green Peace Asia Tenggara). Menurut data FAO Laju kerusakan hutan kita, 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya!.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan beserta ekosistem alamiahnya, apalagi hal ini memperoleh legalitas dari pemerintah. Tak tanggung-tanggung luas areal kebun sawit yang ada seluas 7,3 juta hektar, masih akan terus diperluas hingga mencapai 20 juta hektar (sawitwatch.or.id). hal ini dilakukan Indonesia untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target yang akan membutuhkan dua kali lipat peningkatan usaha perkebunan kelapa sawit.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit mendapat prioritas utama karena pemerintah berupaya memperkuat basis perekonomian nasional melalui penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam secara maksimal. Maka tak heran bila saat ini pemerintah Indonesia telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebanyak 7,9% (Jurnal Hukum Bisnis vol.26,2007).
Amat disayangkan, pemerintah lebih memilih jalan pintas dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi ketimbang melakukan upaya-upaya visioner perbaikan ekonomi dengan memelihara keberlangsungan sumberdaya alam.
Selayaknya pemerintah mengkaji kembali, kegiatan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat kebakaran atau illegal logging. Akan tetapi faktanya pembukaan perkebunan sawit selama ini dilakukan pada areal hutan alam, karenanya sejumlah pihak mencurigai pengambilan kayu dari hutan yang dikonversi sebagai motif utama konversi hutan untuk sawit.
Pembukaan areal perkebunan sawit selama ini hanya melihat sisi ekonomi serta keuntungannya saja, tak pernah dipikirkan dampaknya di masa mendatang bagi kelangsungan biodiversitas serta kehidupan.
Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bangsa ini.
Ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistim hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.
Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya . Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat adat sangat jamak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Indonesia. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan perkebunan ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat adat. Padahal, masyarakat adat telah menempati, memanfaatkan, dan bergantung pada hutan serta sumber daya alam tersebut sejak dahulu kala.
Berkaitan dengan semua itu, maka Silo Edisi 35 ini mencoba mengungkap berbagai hal seputar perkebunan kelapa sawit, agar sekiranya menjadi bahan bacaan dan pertimbangan berbagai pihak khususnya pemerintah dalam mengambil kebijakan , selain itu kami juga berharap agar Silo edisi ini memberikan informasi yang lebih berimbang kepada masyarakat dan petani yang lahannya menjadi incaran ekspansi perkebunan sawit, yang selama ini hanya memperoleh “informasi menyenangkan” dari sumber-sumber tertentu khususnya dari perusahaan perkebunan sawit.
Berbagai informasi lain terkait dengan aktifitas dan perjuangan masyarakat sipil tetap kami hadirkan pada edisi ini, semoga informasi ini memberikan manfaat bagi banyak pihak, selamat membaca.
Wassalam
Edy Wicaksono
Redaktur Pelaksana