(Palu, 11/3/2016), Belum lama ini, YMP bersama organisasi seperti RFN, WARSI, CENTER FOR INTERNATIONAL POLICY, NRDC, SUMOFUS, WILD LIFE FEDERATION dan UNION OF CONCERNED SCIENTIST, berkirim surat kepada perusahaan Louis Drefyus Commodities Group. Perusahaan komoditi pertanian dan perkebunan itu berpusat di Amsterdam, Belanda. Maksud surat tersebut adalah meminta pertemuan dengan perusahaan asal Prancis tersebut, berkaitan dengan perdagangan komoditi sawit.
Seperti diketahui, Amsterdam merupakan kota di Eropa sebagai pusat perdagangan komoditi pertanian dan perkebunan, termasuk tandan sawit dan produk turunannya. Louis Drefyus sendiri termasuk pemain utama dalam urusan sawit, yang mana mereka membeli dan menampung tandan sawit dan produk turunannya dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.
Melalui surat tersebut, kita meminta pertemuan dengan pihak Louis Dreyfus, untuk menyampaikan sejumlah persoalan mendesak terkait perkebunan sawit. Isu nol-deforestasi, nol-eksploitasi dan nol-lahan gambut. Selain itu, isu hak asazi manusia juga mesti menjadi perhatian utama pihak prusahaan. Seperti perampasan lahan, penyingkiran masyarakat setempat, kriminalisasi petani, penggunaan aparat keamanan, serta hak-hak buruh perkebunan.
Harapannya dengan pertemuan tersebut ada komitmen tegas dari pihak Louis Drefyus untuk menghentikan relasi bisnisnya dengan produsen sawit dari berbagai negara, termasuk yang berasal dari Indonesia. Selain itu, kita juga meminta agar Louis Dreyfus menghentikan jaringan bisnisnya dengan perusahaan produsen olahan sawit, seperti perusahaan makanan dan kosmetik. Di Indonesia, beberapa perusahaan sawit besar semacam Wilmar termasuk penyuplai terdepan tandan sawit kepada Louis Dreyfus.
Isu lain yang diangkat di dalam surat tersebut adalah suplai air dan perubahan iklim. Kita berharap Louis Dreyfus ikut terlibat secara global untuk memerangi perubahan iklim, dengan cara menangani faktor-faktor penyebabnya, seperti menghentikan laju ekspnasi perkebunan yang bertumpu pada penggunaan lahan skala luas. *(Azmi)
Sebagai negara berkembang, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi agar bisa bersaing dengan negara maju. Sebagai negara agraris, tentu usaha-usaha berbasis lahan menjadi sangat populer, tidak terkecuali perkebunan kelapa sawit. Fakta bahwa pembangunan perkebunan sering menyingkirkan masyarakat adat dan lokal adalah benar adanya. Tidak hanya itu, perusahaan juga sering memicu konflik sosial. Kerusakan lingkungan juga kerap menjadi masalah yang datang kemudian. Pertanyaannya, apakah penyelesaian masalah harus berakhir dengan penutupan, pemblokiran dan aksi-aksi lainnya. Saya kira, saudara-saudara kita terlanjur menggantungkan hidupnya dari usaha perkebunan itu. Jika berhenti, bagaimana nasib mereka. Tapi membiarkan perusahaan melakukan aksi semena-mena juga tidak dibenarkan. Solusi yang bijak barangkali adalah dialog. Mencari solusi jalan tengah, masyarakat aman, perusahaan aman, lingkungan komit dijaga dan negara mendapatkan income untuk pembangunan negri. Karena negara maju tidak akan rela melepas ketergantungan ekonomi kita pada mereka. Sehingga segala upaya pasti akan mereka lakukan.
Terima Kasih Pak Sungging atas komentarnya, sepakat dengan bapak perlawanan dengan pengerahan massa akan berujung pada jatuhnya korban semoga ada solusi yang baik untuk negeri ini dimana masyarakatnya menggantungkan hidup dari tanah garapan. Silahkan kunjungi laman yang lain