Pentingnya Mitigasi Bencana Berbasis Pengetahuan Lokal
Pada 28 september 2018 silam SulawesiTengah tepatnya di Palu, Parigi, Sigi dan Donggala diguncang gempa berkekuatan 7.4 SR. Gempa itu kemudian diikuti dengan bencana dasyat lainnya yaitu tsunami, likuifaksi, downlift, banjir dan tanah longsor. Wilayah Palu, Sigi dan Donggala adalah tiga wilayah terdampak parah dengan korban lebih dari 5.000 jiwa.
Setelah bencana berlalu banyak kalangan (termasuk NGO) yang penasaran dengan riwayat bencana di wilayah Lembah Palu serta bagaimana masyarakat terdahulu menghadapinya. Prasangka ilmiah kemudian muncul dengan dugaan kuat bahwa masyarakat lokal di Lembah Palu dan sekitarnya sejak beribu tahun lalu sesungguhnya memiliki pengetahuan lokal kebencanaan, khususnya aspek mitigasi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman nenek moyang masyarakat Suku Kaili.
Hasil riset yang dilakukan YMP Sulteng pada Maret 2019 mengenai jejak rekam kearifan lokal mitigasi bencana masyarakat Kaili di Lembah Palu dan Pesisir Pantai Barat Donggala menemukan bahwa masyarakat setempat sesungguhnya memiliki pengetahuan mitigasi bencana yang terwariskan melalui budaya “Tutura” atau cerita.
Cerita-cerita mengenai peristiwa bencana alam dimasa lampau masih tersimpan dalam ingatan masyarakat sehingga kemudian menjadi satu pengetahuan lokal mengenai tanda-tanda kapan terjadinya bencana alam, simbol-simbol atau penamaan bencana alam, membangun hunian adaptif bencana dan pengaturan tata ruang berbasis histori ancaman bencana alam.
Hasil riset disimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara tata ruang, mitigasi dan historis kebencanaan dengan pengetahuan lokal kebencanaan yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat memberikan dampak pada rendahnya resiko akibat bencana. Benang merahnya adalah terpeliharanya kesadaran atau kearifan lokal mitigasi bencana membuat semakin siap menghadapinya sehingga semakin kecil resiko yang ditimbulkan oleh bencana itu.
Tentu, ada perbedaan antara pengetahuan lokal-tradisional dengan pengetahuan modern (ilmiah) yang mengandalkan prediksi dan kecanggihan teknologi. Ketergantungan total dengan prediksi teknologi justru terbukti keliru! Alat pendeteksi tsunami nyatanya tidak berfungsi disaat bencana (baca:genting) sehingga justru menimbulkan informasi keliru dan simpang-siur. Akibatnya ribuan orang menjadi korban dipantai Teluk Palu.
Akhirnya, pengetahuan lokal itu sampai saat ini bahkan dimasa mendatang masih sangat penting dan dibutuhkan terutama dalam mengatur tata ruang dan fungsi mitigasi. Semangat bergantung pada pengetahuan modern (ilmiah) dan teknologi kiranya ideal jika dipadukan dengan pengatahuan tradisional.
Belajar dari pengalaman mengalami bencana, maka pengetahuan mitigasi bencana memang sangat dibutuhkan oleh semua kalangan. Harapan kami pemerintah merealisasikan janji menetapkan mitigasi bencana kedalam kurikulum pendidikan nasional, khususnya di Sulteng. Agar dimasa mendatang anak cucu kita sudah mengenal riwayat bencana daerahnya sehingga memiliki kesiapan matang ketika akan menghadapi bencana gempa bumi dan bencana lainnya.
Redaksi.