(Tojo Una-Una, 21/9/2015),“Salah satu program Kementerian Kehutanan yang saat ini menjadi prioritas adalah mensukseskan terbentuk dan berkembangnya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)” jelas Ambar Subekti, Kepala KPH Sivia Patuju Kabupaten Tojo Una-Una, saat diskusi di Kantor Lapangan Yayasan Merah Putih (YMP) di Ampana (17 /9/2015).
Menurut Ambar di Sulawesi Tengah akan dibentuk 21 unit KPH, yang saat ini telah terbentuk sebanyak 8 unit, dan KPH Sivia Patuju merupakan unit XVII berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 968/Menhut-II/2013. Kedatangan Ambar ke Kantor YMP Ampana, untuk menjelaskan rencana tata kelola KPH Sivia Patuju sekaligus membuka ruang kritis dan masukan dari masyarakat sipil. Dalam paparannya Ambar menjelaskan carut marut pengelolaan kawasan hutan selama ini yang menyebabkan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan tidak sejahtera. Ia berharap KPH bisa meminimalisir hal tersebut, melalui blok-blok rencana pengelolaan antara lain, blok inti, perlindungan, Hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Selain itu, telah ada blok yang dikelola oleh perusahaan kehutanan seperti PT. Ink, PT. BBR dan PT. DA pada blok Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam dan Hutan Tanaman (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT). Ambar berharap bisa bekerjasama dengan LSM seperti YMP melalui skema pemberdayaan pada Blok Perhutanan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar KPH, menurutnya YMP selama ini kosern mendampingi masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat atas hutan. “Blok hutan desa telah ada di Desa Kajulangko, perencanaan lain akan dilakukan di Desa Takibangke dan Desa Sabo” ungkap Ambar sambil memeperlihatkan Peta Rencana Pengelolaan Hutan KPHP_Sivia Patuju. Badri Djawara selaku manajer kantor Ampana yang juga hadir pada diskusi tersebut sangat mengapresiasi rencana tersebut, namun ia juga berharap keberadaan dan aktifitas KPH tetap mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat yang tinggal disekitar hutan. “ Masalah utama pengelolaan hutan di Indonesia adalah ketidakadilan dalam pengelolaan hutan, untuk mewujudkan pengelolaan yang lestari dan berkeadilan maka yang paling utama adalah pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat” Ujar Badri. Tak dapat dipungkiri konflik di sektor kehutanan kerapkali terjadi di Indonesia terutama konflik yang disebabkan tata batas kawasan hutan, karenanya Badri berharap keberadaan KPH Sivia Patuju bisa menjadi upaya resolusi konflik dan pemberdayaan masyarakat di tingkat tapak. Kepada KPH Sivia Patuju Badri menekankan akan mendukung skema-skema pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat baik hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan adat, selagi masyarakat yang menjadi aktor utama penerima manfaat dan pengelolanya maka peluang itu harus dimanfaatkan oleh masyarakat. (Abd nasir & Edy)