Pertemuan antara perwakilan masyarakat lokal dari Desa Rerang dan Panii, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala pada tgl 21 Agustus 2014 di Kantor KPH Dampelas Tinombo di Desa Mapane, menyingkap satu fakta baru. Ternyata, perencanaan dan penataan blok pemanfaatan di areal KPH sama sekali tidak proporsional. Hal itu terlihat dari SK Menhut No. .6942/Menhut-II/Reg.4/2/2013, tentang Peta Penataan Blok KPH Dampelas Tinombo. Pada peta terlampir dari SK Menhut tersebut, luas areal yang dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat setempat hanyalah 21.000 Ha.
Pada peta terlampir itu, disebutkan jika areal pemanfaatan masyarakat setempat disebut dengan istilah “blok pemberdayaan”. Dengan luas yang diperuntukkan untuk blok pemberdayaan seluas 21.00 Ha. Prioritas pemanfaatan untuk masyarakatadalah skema Hutan Desa [HD], Hutan Kemasyarakatan [HKm], dan Hutan Tanaman Rakyat [HTR], ujar Kepala KPH Dampelas Tinombo, Agus Efendi.
Sementara itu, pada peta terlampir itu juga dinyatakan jika sudah ada dua perusahaan yang mendapat izin beraktivitas di areal KPH. Pertama, PT.ARTP untuk eksploitasi tambang, serta PT.CA untuk usaha restorasi ekosistem melalui izin IUPHHK/HTI. Luasan areal produksi kedua perusahaan itu ternyata lebih besar daripada yang diperuntukkan bagi masyarakat setempat. Jika diamati lebih seksama di peta terlampir, besaran areal produksi kedua perusahaan bisa mencapai 100.000 Ha.
Karena itu, delegasi masyarakat Rerang dan Panii menyatakan keberatan atas pencanangan penataan blok KPH. “Sepertinya tidak adil, kami masyarakat di 6 kecamatan yang masuk areal kerja KPH, justru diberikan akses yang sangat kecil, sementara perusahaan sangat besar”, ujar Rusdin ZM, perwakilan masyarakat Rerang. Senada dengan itu, Umbarani dari Desa Panii juga meyatakan bahwa sebaiknya proporsi blok prduksi antara masyarakat dengan perusahaan ditinjau ulang.
Terkait dengan itu, perwakilan YMP yang memediasi pertemuan kedua belah pihak mendesak perlunya perubahan paradigma di tubuh KPH. YMP mengusulkan agar Kepala KPH Dampelas Tinombo mengakomodir usulan masyarakat. Jika tidak, konflik kuasa, kontrol dan akses ruang kelola di KPH akan meningkat. “Kita tidak ingin kekecewaan masyarakat Desa Talaga kepada KPH di tahun 2011 terulang kembali, oleh sebab itu kami mendesak agar pemerintah perlu mereposisi peran dan fungsi KPH yang dinilai terlalu condong kepada pengusaha”, ujar Koordinator Program Hutan dan Iklim YMP, Azmi Sirajuddin.
Menurut YMP, reposisi peran dan fungsi KPH sudah saatnya dilakukan. Apalagi, jika berkaca dari kasus KPH Dampelas Tinombo sebagai KPH Produksi model di Sulawesi Tengah, kelihatannya paradigma lama kehutanan masih berjalan. Jika proporsi areal kelola untuk perusahaan lebih besar, maka tujuan untuk mendekatkan pelayanan kehutanan ke level tapak tidak akan terbukti. Persoalan lain saat ini, dari 21 unit KPH yang dicanangkan oleh Kemenhut di Sulteng, sudah ada 7 yang eksis, namun ketujuh KPH yang sudah eksis itu sama sekali tidak melibatkan peran serta masyarakat setempat, termasuk KPH Dampelas Tinombo. Nihilnya pelibatan masyarakat setempat dapat dilihat dari minimnya informasi yang mereka miliki terkait KPH dan perencanaan penataan ruangnya. [*Tim YMP]