Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, kemarin (08/02/2013) mengajukan tuntutan kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Tuntutan tersebut lahir dalam diskusi bertema “KPH dan Keadilan Tenurial”, yang dilaksanakan di kantor Yayasan Merah Putih (YMP). Diskusi tersebut dilaksanakan untuk mencari formula alternatif dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Khususnya di wilayah yang telah ditetapkan sebagai lokasi demonstration activity (DA) REDD+. Pada tahun 2012, Gubernur Sulawesi Tengah telah menetapkan 5 kabupaten terpilih untuk lokasi DA REDD+. Wilayah tersebut meliputi Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Toli-Toli, Sigi dan Tojo Una-Una. Sementara itu, salah satu model ruang pengelolaan untuk ujicoba REDD+ di level tapak, adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan. Hal ini dapat ditelusuri dari beberapa dokumen yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan, yang terkait dengan KPH. Terutama sejak konsep KPH mulai diperkenalkan di Sulawesi Tengah pada tahun 2009.
Ketika itu, dimulai dengan penunjukan dan penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model Dampelas Tinombo. Dengan fungsi utamanya adalah produksi. Unit KPH ini terletak dalam dua wilayah administratif kabupaten, serta lima wilayah kecamatan. Meliputi Kecamatan Sojol, Dampelas dan Balaesang di Kabupaten Donggala. Serta, Kecamatan Tinombo Selatan dan Tinombo di Kabupaten Parigi Moutong. Luas KPH Model Dampelas Tinombo seluas 100.912 Ha. Berdasarkan SK Menhut Nomor SK.792/Menhut-ll/2009, tanggal 7 Desember 2009.
Anehnya, selain KPH Model Dampelas Tinombo yang sudah lebih awal dipromosikan, pemerintah juga mencadangkan 21 KPH baru. Melalui SK Menhut Nomor SK.79/MENHUT-II/2010 tanggal 10/02/2010, Kementrian Kehutanan menargetkan 5 KPH Lindung seluas 717.427 Ha, serta 16 KPH Produksi seluas 2.481.659 Ha. Total luas areal 21 KPH itu mencapai 3.199.086,00 Ha. Ini berarti bahwa, luas kawasan hutan tersisa di Sulawesi Tengah seluas 3.248.458 Ha (berdasarkan dokumen revisi RTRWP Sulawesi Tengah tahun 2012), hampir habis digunakan untuk pencadangan KPH.
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, saat ini sudah ada 4 unit KPH. Meliputi KPH Dampelas Tinombo (Donggala dan Parigi Moutong), KPH Sintuvu Maroso (Poso dan Morowali), KPH Dolago Tambunu (Parigi Moutong dan Sigi), dan KPH Toili Baturube (Banggai dan Morowali). Namun, yang telah beroperasi masih sebatas di unit KPH Dampelas Tinombo.
Berdasarkan pada analisa situasi tersebut, Pokja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah mendesakkan solusi alternatif terkait pengelolaan KPH. Ada 3 hal yang didesakkan ke pemerintah provinsi. Pertama, penyusunan rencana pengelolaan (RP) KPH di setiap unit, mesti menganut azas free, prior and informed consent (FPIC). Sehingga, masyarakat setempat dapat terlibat aktif dan penuh dalam merancang model dan ruang pengelolaan KPH di sekitar mereka. Hal ini untuk menghindari penyusunan RP secara sepihak oleh Unit Pelaksana Tehnis (UPT) KPH bersangkutan.
Kedua, pentingnya transparansi anggaran pengelolaan KPH berbasis zero corruption action. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban pihak pengelola KPH kepada publik. Sekaligus untuk proses kontrol publik terhadap penggunaan anggaran negara dalam sektor ekstraktif seperti kehutanan. Ketiga, pengukuhan dan penetapan kawasan KPH sebaiknya tidak menggunakan pola lama, top down. Tapi, penting sekali pelibatan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dalam proses penata batasan kawasan. Sehingga, tidak melahirkan konflik batas, antara masyarakat setempat dengan pihak KPH dan pemerintah. Seperti yang terjadi di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala.*[Azmi / Nurul]