Dua wilayah yang menjadi pilot proyek REDD+ di Indonesia, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah menjadi fokus pembicaraan pada satu sesi lokakarya. Yang digagas oleh Perkumpulan HUMA, dari tanggal 11 sampai 12 Agustus 2011, di Jakarta. Lokakarya tersebut mencoba melihat dan menemukan proses yang sudah berlangsung di kedua wilayah pilot proyek REDD+ tersebut. Yayasan Merah Putih (YMP) selaku sekretariat Kelompok Kerja (POKJA) Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, juga diundang untuk hadir. Dalam rangka memaparkan hasil pemantauannya soal proses proyek UNREDD yang tengah dalam persiapan. Sebelum proyek itu benar-benar dilaksanakan pada tahun 2014.
Ternyata, pelaksanaan proyek REDD+ di kedua wilayah itu mencerminkan satu kesamaan. Munculnya protes maupun gugatan masyarakat sekitar tapak proyek, karena buruknya tata kelola proyek. Meliputi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan proyek.
Situasi di Kalimantan Tengah
Menurut ketiga aktivis sosial Kalimantan Tengah, seperti Kiki, Oeban dan Rio, proyek REDD+ seperti KFCP yang didanai Australia, sangat bermasalah. Masalah itu timbul karena ketertutupan informasi proyek ini sejak awal. Seperti, proses awal penunjukan Kalimantan Tengah menjadi pilot proyek untuk REDD+. Plus, mengkhususkan kawasan Mentangai-Kapuas sebagai tapak proyeknya. Semua informasi serba tertutup, termasuk tidak melibatkan perwakilan masyarakat sekitar lokasi tapak. Semacam Mantir, Damang dan Dewan Adat Dayak, yang merupakan kelembagaan lokal masyarakat setempat.
Proses transparansi informasi semakin bermasalah, dan masyarakat merasa bahwa pihak proyek, termasuk pemerintah dan donor, memberlakukan mereka sebagai subjek belaka. Terlebih lagi, jika menyorot proses pengembangan proyek yang dilakukan oleh pihak Kalimantan Forest Carbon Project (KFCP). Proyek tersebut melimpah kucuran dana dari Australia, tapi miskin pelibatan masyarakat di dalamnya.
Bahkan, satuan tugas yang dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Tengah untuk pelaksanaan proyek REDD+ dengan perangkat hukum SK Gubernur, lebih banyak ditempati oleh aparatus pemerintah daerah. Janji semula yang akan melibatkan perwakilan masyarakat di dalam satgas tersebut, akhirnya dimentahkan sendiri oleh pemerintah daerah.
Yang lebih memprihatinkan, sektretariat KFCP yang bertempat di BAPPEDA Propinsi juga susah untuk diakses oleh masyarakat. Ketika mereka ingin mencari informasi seputar KFCP, atau ketika ingin bertemu para pelaksana proyek, masyarakat Kapuas pun kesulitan untuk bertemu orang-orang tersebut.
Perekrutan beberapa orang setempat untuk menjadi anggota pelaksana proyek di lapangan maupun di secretariat, ternyata hanya untuk memuluskan rencana proyek. Pembangunan pos informasi di lokasi-lokasi proyek, tidak banyak membantu kebutuhan masyarakat. Yang diperlukan oleh masyarakat sesungguhnya adalah “partisipasi” dalam segala elemen proyek. Misalnya, dalam penentuan luasan plot tanaman, jenis tanaman yang cocok dengan karakter lokal, serta pemanfaatan aliran sungai untuk pengairan areal proyek.
“Sejak proyek ini digulirkan pada tahun 2008, persoalan baru semakin bermunculan di tengah masyarakat”, ujar Rio Rompas dari WALHI Kalteng.
Bagaimana Dengan Di Sulawesi Tengah?
Setelah Aceh, Riau, Kalteng dan Papua, kini giliran Sulawesi Tengah pada tahun 2010 yang memperoleh proyek REDD+ yang bertumpu pada pengembangan “Demonstrative Activity” (DA) di level Kabupaten. Dengan nama proyek UN-REDD, yang dikerjakan oleh tiga lembaga United Nations, yaitu UNDP, UNEP dan FAO. Dengan sumber pendanaannya salah satunya berasal dari Norwegia dan Australia.
Meskipun sudah diluncurkan di hadapan publik pada Oktober 2010 di Palu, tapi tahapan proyek tersebut sepertinya berhenti di situ saja. Padahal, sudah muncul kasak-kusuk di level Dinas Kehutanan Propinsi kalau lokasi DA-nya sudah disiapkan di lima wilayah Kabupaten. Yaitu, Donggala, Toli-Toli, Parigi Moutong, Poso dan Tojo Una-Una. Basis kawasannya mungkin saja di Kawasan Pemangkuan Hutan (PKH), kawasan konservasi dan bahkan mungkin bisa masuk ke Taman Nasional.
Terkait kehadiran UN-REDD di Sulawesi Tengah, sejumlah organisasi masyarakat sipil di daerah ini mendirikan lembaga pemantauan. Dengan fokus pemantauan pada proses dan tahapan dari proyek UN-REDD yang akan dijalankan mulai sejak tahun 2010 hingga berakhir tahun 2013.
Berkaca dari hasil-hasil pengamatan dan pemantauan di lima wilayah Kabupaten itu, Pokja Pantau menemukan sejumlah kejanggalan. Misalnya, masyarakat dan pemerintahy daerah di kelima wilayah tersebut justru tidak mengetahui tentang isu-isu perubahan iklim dan skema REDD. Merekapun, tidak mengetahui kalau wilayahnya menjadi calon lokasi demonstrative activity.
Kelembagaan pelaksana proyek UN-REDD di level sub-nasional (propinsi) dilahirkan berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah. Yang bertumpu di Dinas Kehutanan Propinsi, dengan beranggotakan beragam pemangku kepentingan. Selain birokrasi, juga ada LSM, akademisi, masyarakat, media dan pengusaha.
Salah satu penyebab minimnya informasi sampai ke level terkecil seperti Kecamatan dan Kampung, ialah tidak adanya upaya dari UN-REDD melakukan sosialisasi yang lebih luas ke tengah masyarakat. Karena itu, akses informasi yang diperoleh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di level terbawah.
Hal ini akan memicu konflik yang baru di level terbawah, menambah deretan konflik yang sudah ada sebelumnya seperti konflik tenurial lahan dan hutan, serta tumpang tindih perizinan antar sektoral. Mengingat, Sulawesi Tengah sangat sarat dengan konflik tenurial kehutanan yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Jalan Alternatif
Hedar Laudjeng dari Dewan Kehutanan Nasional-Kamar Masyarakat memberikan gagasannya terkait isu ini. Berkaca dari Kalimantan Tengah maupun Sulawesi Tengah, Hedar berpendapat pentingnya mendorong penguatan dan peran aktif kelembagaan lokal. Seperti lembaga adat, pemerintah ngata, pemerintah desa, BPD dan yang lainnya dalam penyelesaian konflik.
Karena, masyarakat sudah jenuh dengan mekanisme penyelesaian formal, seperti di Kepolisian dan Peradilan. Mendorong penguatan kemudian memberikan peran dan ruang yang lebih besar kepada kelembagaan lokal, memang tidak mudah dijalankan. Namun, basis empirisnya sudah ada, yaitu kebiasaan masyarakat di berbagai daerah dalam menggunakan instrument lokalnya dalam menyelesaikan suatu konflik.
Hal inilah yang perlu di naikkan kembali ke permukaan, sebagai kesadaran kolektif yang harus terus-menerus dibangun dan dirawat keberadaannya. Namun, membutuhkan keteladanan (dari masyarakat sendiri melakukannya) dan ketelatenan (masyarakat sendiri yang proaktif) untuk melakukan hal itu.
Pertannyaan yang perlu dijawab oleh kita semua (masyarakat dan OMS), maukah kita melakukan itu? Di tengah ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan para pelaku proyek REDD dan sejenisnya.