“…Wakil rakyat seharusnya merakyat…” sepotong bait yang dibawakan mantan penyanyi jalanan Iwan Fals ini menjadi refleksi kinerja para wakil rakyat yang duduk di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bukan hanya menjadi perwakilan rakyat dalam menentukan kebijakan dan atau menyusun rencana pembangunan, tapi mereka menjadi titik harapan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan maupun keadilan sosial.
Inilah yang disebut dengan sistem demokrasi yang dalam artian dari oleh dan untuk rakyat. Rakyat memberikan “mandat” kepada wakilnya untuk menyuarakan aspirasinya melalui mekanisme “parlemen”. Di Indonesia, cara ini dibuat melalui jalurDPR, DPRD dan DPD yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu sebagai kerangka institusional dalam penyelenggaraan demokrasi.
Namun yang terjadi bukanlah demokrasi yang sejatinya memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru kinerja anggota legislatif yang ketika duduk diparlemen menjadi serakah dan mementingkan kepentingan individu atau partai pengusungnya. Bak lupa daratan, anggota legislatif yang notabene dipilih oleh rakyat malah sikap perjuangannya cenderung berpihak kepada para penguasa. Ironisnya, terkadang terjadi perselingkuhan antara anggota dewan dengan investor.
Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum. Masyarakat sudah tahu bahwa mayoritas anggota dewan dalam kepribadiannya, merupakan sosok politikus yang dominan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Kasus korupsi yang hangat diperbincangkan sampai pada skenario politik yang melibatkan pejabat negara, menambah daftar panjang krisis pemerintahan dinegeri ini.
Tahun Politik
Ditahun politik ini, para calon legislatif (Caleg) melakukan kampanye baik secara dialogis (lisan) maupun monologis (fasilitas bergambar). Kampanye ini dimaksudkan sebagai upaya mengambil simpatik masyarakat yang punya hak memilih pada saat hari penentuan suara pada 9 april 2014. Tak tanggung-tanggung, caleg yang berkompetisi untuk merebut kursi diparlemen berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang dari pengusaha, kader partai, akademisi atau juga aktivis. Bahkan ada juga yang mencalonkan diri dengan latar belakang tukang ojek dan pedagang keliling.
Mereka yang mencalonkan diri berjanji, sampai yang ekstrim ada juga yang membuat pakta integritas (perjanjian tertulis) yang berisi ikrar caleg kepada masyarakat. Perjanjian tersebut bertuliskan apabila si caleg terpilih dan dia tidak melaksanakan amanah perjanjian dengan masyarakat, maka caleg tersebut siap mundur dari jabatannya sebagai anggota DPR.
Bermacam-macam trik dan strategi ditempuh untuk meraih kursi diparlemen. Di indonesia sendiri, khususnya di Sulteng, para politikus itu sangat pintar bersilat lidah. Banyaknya janji-janji politik yang dikampanyekan saat masa kampanye membuat masyarakat terkesimah, seakan menemukan harapan baru yang tertanam pada sosok yang berkampanye tentang kesejahteraan dan kemakmuran. Namun sayang, lagi-lagi kekecewaan akan harapan tersebut kembali terulang ketika janji-janji politiknya tidak kunjung terealisasi.
Masyarakat yang jadi korban kampanye ria yang dilakukan para caleg. Ketika duduk di parlemen, mereka para caleg enggan menengok atau mengingat kembali janji-janji yang mereka umbar kepada saat kampanye. Apakah ditahun ini fenomena tersebut kembali terulang? Kita lihat saja perjalanan para elit politik yang katanya mewakili rakyat dalam mengontrol aparatur pemerintahan. Karena dalam memilih wakil di parlemen, rakyatlah yang menentukan. Dari pengalaman agenda politik sebelum-sebelumnya, rakyat telah cerdas memilih siapa yang layak dan siapa yang amanah mengemban perjuangan rakyat.
Memilih Walaupun Kurang Ideal
Dalam mengambil studi kasus, saya melakukan liputan di Dongi-dongi Kec. Nokolalaki, Kabupaten Sigi terkait animo masyarakat atas Pemilihan Anggota legislatif dan Presiden di tahun 2014. Kenapa saya memilih dongi-dongi? Karena saya menganggap daerah ini merupakan wilayah yang sering mengalami konflik agraria dan tenurial di Sulteng, dan Yayasan Merah Putih bergerak dalam isu-isu kehutanan dan SDA. Yah, memang masih banyak daerah lain yang rentan dengan konflik agraria dan tenurial. Mudah-mudahan Dongi-dongi menjadi representasi isu atas animo masyarakat yang akan merefleksi agenda politik para wakil rakyat.
Janji-janji politikus banyak disampaikan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan kesetaraan hak dan akses. Apalagi khususnya pada sektor Sumber Daya Alam. Dongi-dongi yang berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sangat dibatasi hak akses masyarakatnya. Dengan perangkat peraturan yang membatasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan Sumber daya alam lainnya, masyarakat seakan sempit hak kelolanya.
“kami berharap para anggota dewan dapat menampung aspirasi kami. Bukan Cuma ditampung, tapi dikawal dan diperjuangkan,” kata Frans tokoh adat Dongi-dongi. Masyarakat memang sudah berjuang untuk mendapatkan pengakuan kawasan agar dapat mengelola beberapa sumber daya alam yang ada sebagai upaya mempertahankan hidup. Namun yang menjadi soal adalah ketika masyarakat diperhadapkan dengan kondisi dimana mereka berada dikawasan konservasi.
Sejak awal tahun 2000, masyarakat berupaya mendorong pengakuan legitimasi wilayah dongi-dongi menjadi sebuah Desa. Aspirasi itu cudah mereka salurkan melalui beberapa anggota legislatif yang pada masa kampanye berjanji untuk memperjuangkan keluh kesah masyarakat Dongi-dongi terkait pengelolaan SDA. “setiap masa kampanye, apakah pilkada, pemilihan anggota legislatif sampai Pilpres, mereka atau tim pemenangan selalu datang kesini untuk kampanye. Mereka berjanji akan memperjuangkan aspirasi kami. Tapi itu tidak ada kejelasan,” menurut Frans yang juga mantan ketua Forum Petani Merdeka Dongi-dongi.
“Kami kecewa dengan mereka (yang berkampanye). Ketika ditanya bagaimana dengan pesta demokrasi nanti ditahun ini, Frans melanjutkan walaupun kecewa, mereka akan tetap menyalurkan suaranya kepada mereka yang terbaik. “Mending memilih dari pada tidak sama sekali. Paling tidak suara kita bisa menambah kepada orang yang kita anggap lebih pantas,” tegas frans.
Berkaitan dengan harapan masyarakat yang tinggal didalam atau sekitar hutan kepada para wakil rakyat, Frans juga berharap agar hak akses atas hutan dan SDA jangan dibatasi. Kalau mau tegas menegakkan hukum, jangan kaku apalagi hanya kepada masyarakat kecil, tapi kepada pengusaha kayu yang merambah hutan tidak diberlakukan.
Ironis memang ketika wakil rakyat ataupun pemangku kebijakan lainnya lebih berpihak kepada kepentingan pribadi atau kelompok, bukan kepada rakyat. Sistem demokrasi yang dalam artian dari oleh dan untuk rakyat, justru disalah gunakan para elit.Namun dari fenomena politik yang terjadi, masyarakat masih menaruhkan harapan dan cita-cita mulianya untuk negeri. Dengan masa transisi demokrasi ini, kelak Indonesia akan sampai kepada masa keemasan dengan struktur pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada rakyat. Mimpi ini masih ada dalam harapan setiap orang yang mendambakan kesejahteraan.