Siang itu terik panas matahari terasa membakar kulit, tidak tampak sedikitpun awan menghiasi langit. Beberapa orang anak tampak asyik bersenda gurau dengan teman-temannya dan sesekali terdengar tawa mereka. Entah apa yang mereka bicarakan, kelihatannya ada raut kebahagiaan yang tersirat di wajah mereka. Aku hanya terpaku melihat tingkah mereka, mereka masih polos dan tidak pernah terbayang di benak mereka apa yang akan terjadi di luar sana dan kerasnya kehidupan yang menanti mereka. tak lama kemudian salah seorang dari mereka datang menghampiriku dan berkata mpia kita dam skola yang artinya kapan kita mulai sekolah. Yah, mereka adalah murid skola lipu yang datang belajar di Banua belajar Salisarao. Jumlah mereka sekitar 40 anak yang datang dari berbagai sub kawasan Salisarao. Anak-anak yang seharusnya sudah duduk di bangku sekolah formal yaitu SD. Tapi dengan segala keterbatasan mereka tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah formal. Yang menjadi kendala adalah jarak tempuh yang mereka tempuh dari salisarao ke desa Taronggo.
Tidak ada keluh kesah yang keluar dari mulut mereka,hanya keceriaan yang menghiasi hari-hari mereka. Adapun Mereka tinggal yaitu di lipu Salisarao yang masuk dalam wilayah Cagar Alam Morowali. Mereka menyebar di berbagai sub kawasan salisarao. Untuk sampai di kawasan tersebut ,kita harus menyebrangi sungai besar yaitu sungai salato. Sepintas lalu kita tidak akan melihat rumah-rumah komunitas Tau Taa Wana yang berderet atau menyerupai perkampungan. Itu dikarenakan karena memang jarak rumah mereka yang saling berjauhan. Tetapi mereka saling mengunjungi satu sama lain jika ada hal-hal yang di anggap penting untuk didiskusikan. Itulah gambaran masyarakat hukum adat suku wana yang mendiami kawasan hutan salisarao,kecamatan baturube bungku utara.
Pada pertengahan tahun 2012 ,dimana layanan pendidikan untuk jalur informal sudah mulai berjalan di Salisarao. Pendidikan jalur informal yang dikenal dengan skola lipu ini sangat memenuhi kebutuhan anak-anak yang tinggal di kawasan hutan salisarao, dan semangat belajar mereka sangat tinggi sehingga dalam waktu 3 bulan sudah ada beberapa anak yang bisa baca,tulis dan berhitung.
Saat ini sudah tercatat ada 40 orang anak yang sudah mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di salisarao,adapun tenaga pengajar berasal dari komunitas itu sendiri agar peserta belajar merasa nyaman pada saat mengikuti proses belajar. Ada 3 orang relawan guru yang mengabdikan dirinya untuk mengajar baca tulis di skola lipu, dan mereka sangat menikmati untuk menjadi tenaga pengajar bagi anak-anak yang belajar di skola lipu. Salah satu tenaga pengajar yang akrab di panggil indo ketong mengatakan seandainya skola lipu ini ada sebelum ia memutuskan untuk menikah, mungkin dialah orang pertama yang akan mengabdikan dirinya menjadi tenaga pengajar. Karena indo ketong adalah orang yang suka dengan anak-anak. Dan dia juga menggantungkan harapan agar anak-anak skola lipu juga bisa mendapatkan kesempatan untuk studi banding,magang atau kursus dan nantinya bisa dikembangkan setelah ia kembali ke komunitas. Indo ketong berharap agar kelak anak-anak yang belajar di skola lipu bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Begitu pula dengan tenaga pengajar yang lain yaitu indo fik dan Laku. Keduanya juga punya komitmen untuk tetap menjadi tenaga pengajar bagi anak-anak. Menurut mereka kalau kita yang perduli dengan pendidikan mereka siapa lagi. Mereka tidak pernah mengeluh meskipun jarak yang mereka tempuh untuk melaksanakan kewajiban mereka sebagai tenaga pengajar tidaklah mudah. Tetapi mereka melaksanakan dengan penuh keikhlasan dan dan rasa tanggung jawab.
Dengan hadirnya skola lipu, orang tua pun sudah merasakan manfaatnya bagi anak-anak mereka. Selain proses belajar,anak-anak juga diperkenalkan untuk mengenal lingkungan mereka disekitar mereka.Skola lipu adalah suatu wadah belajar dimana setiap aktivitas adalah bahan belajar,di setiap tempat adalah ruang belajar dan setiap kesempatan adalah waktu belajar. Pertanyaan demi pertanyaan pun terlontar dari mulut mereka. Karena mereka punya harapan yang besar dengan adanya skola lipu ini mereka bisa mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang nantinya akan berguna bagi sesamanya. Kita tak pernah membayangkan jika di wajah polos mereka masih ada harapan untuk bisa sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Adakah kita mencoba untuk bertanya pada mereka dan mengerti apa kebutuhan mereka, terkadang kita hanya ingin memaksakan sesuatu yang sudah menjadi aturan mutlak tanpa melihat suatu realita yang begitu jelas. Apakah kita hanya perduli bagi mereka yang mau menuruti semua kehendak yang disertai dengan kepentingan. Yani