(Merauke-Papua, 12/10/16), Sebenarnya sudah kami lakukan, namun belum sistimatik – ungkap Frans Infaindan disela-sela lokakarya. Frans sang fasiltator lapangan di Silva Papua Lestari ini merasa bersyukur mendapatkan pengetahuan dan keterampilan terkait bagaimana menyusun rencana pembelajaran secara sistimatis.
Lokalatih yang difasilitasi Lany RH ini umumnya membuat peserta tercerahkan. Lany yang lulusan UGM Jogja ini dalam sesi awal mencoba menggali potensi lokal di komunitas masing-masing lembaga. Diagnosa potensi dan masalah merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk memahami apa yang bisa dikembangkan nantinya.
Hasil penggalian potensi itulah yang menjadi dasar dalam penyusunan tema dan sub tema kurikulum pembelajaran. Dalam membuat tema Lany yang juga aktif di Sekolah Yayasan Pendidikan Jayawijaya ini mengingatkan bahwa kalimat pernyataan dalam tema sebaiknya bersifat postif dan menghindari kalimat prediksi. Begitupun dalam menyusun sub tema, sebaiknya kalimatnya bisa memicu diskusi yang cirinya mendalam, meluas dan faktual terjadi di lapangan.
Kegiatan selanjutnya peserta diberi keluasan secara berkelompok mengerjakan rencana kegiatan pembelajaran di lapangan. Sebelum membuat rencana kegiatan pembelajaran, Lany yang psikolog muda ini membuka wasasan peserta mengenai metode inquiry atau pendalaman dengan jalan mencari dan terus mencari. Usahakan anak-anak menggali sendiri dari pertanyaan yang kita ajukan.
Dalam inquery guru bukan satu-satunya sumber belajar. Sehingga tercipta kemandirian dan terus mencari dan tidak berhenti kepada soal-soal yang praktis. Pada tahap ini fasilitator lebih banyak bertanya. Mengajak dengan diskusi. Mengajak untuk mencari jawaban atas pertanyaan. Dari jawaban bisa jadi memicu pertanyaan baru. Jawaban didapatkan dari sumber belajar baik fasilitator; buku teks, teman, hutan, orang tua, dan lainnya.
Jadi sumber belajar tidak mesti buku teks melulu. Namun ia mengingatkan agar hati-hati dengan sumber belajar karena dapat mencabut akar budaya setempat atau tidak sesuai dengan konteks karena berdampak pada pemaknaan dalam pembelajaran. Selain inquiry, ia juga menjelaskan metode diferensiasi.
Dalam metode tersebut sebagai fasilitator penting untuk memahami perbedaan mengenai penguasaan siswa mengenai kemampuan membaca, menulis dan berhitung ; gaya belajar siswa; latar belakang keluarganya; umur; dan peran anak di keluarga.
Dalam persentase rencana pembelajaran di lapangan, Nuryani yang juga fasilitator Skolah Lipu memaparkan sub tema kekayaan alam dan nilai adat, di hari pertama dalam perencanaan kegiatan tersebut misalnya, merencanakan pembelajaran dengan pertanyaan Apa itu Navu (kebun)?
Dan apa saja tanaman yang diusahakan di Navu? Metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan mengundang Worotana (ahli pertanian) untuk bertutur kepada anak-anak untuk menjawab pertanyaan tersebut; metode lainnya adalah mengajak siswa ke Navu untuk melihat apa saja yang ada di Navu.
Hasil pengamatan kemudian siswa disuruh menuliskan apa saja yang dilihat – siswa yang sudah menulis; atau bercerita dan membuat gambar dari apa yang didapatkan untuk siswa yang belum dapat menulis. Untuk siswa yang baru mengenal huruf fasilitator membantu belajar menulis kata yang sesuai dengan apa yang siswa ceritakan.(Ipul)
Saya sangat setujuuuuuu,,,,,kebanyakan orang masih menanyakan “ms/Bu/pak/mr kok anak saya tidak ada buku paketnya?” Atau /bagaimana saya mengajari anak saya kalau tidak ada buku paket? Wahhhhhhh ,,,mungkin kebanyakan orang tua di negara kita cercinta ini masih berkutat di 1 sumber belajar.
pengalaman saya di kelas, setiap harinya anak2 akan membuat refleksi dari apa yang sudah diipelajari, sehingga sedikit membantu bagi orang tua yang ingin mengajari anaknya tanpa menanyakan buku paket.
Salam
luluk
Terima kasih bu Luluk atas kunjungan dan sharing pengalamannya, memang miris melihat kenyataan pendidikan negeri ini… semoga banyak muncul pengajar yang kreatif yang mau berfikir out of the box sebagaimana metode yang ibu Luluk buat
Salam
Admin