Tinggalkan Padi, Ramai- ramai Tanam Nilam

Desa Suka Maju sibuk bergegas meninggalkan pagi, anak-anak berseragam sekolah dibonceng orang tuanya, entah pergi atau pulang sekolah. Ini adalah hari ketiga, kami berbelanja kebutuhan di desa Suka Maju sebelum benar-benar memasuki rimba Tojo Una- una. Kali ini Lengkasa.

Lengkasa adalah Lipu (Kampung tradisional) ketiga yang kami kunjungi. Lipu ini terletak di belahan barat dataran Bulang. Dari Rano yang berada di belahan timur, kami harus kembali ke Mpoa dan Desa Suka Maju tempat kami pertama kali menjejakkan kaki. Perjalanan menuju Lengkasa ditempuh dengan Motor Ojek selama kurang lebih dua jam.

Menjauhi dataran, motor ojek kami mulai memasuki tanjakan bukit hingga pegunungan. Pemandangan disini tidak jauh beda saat kami menuju Mpoa dan Rano, kebun Nilam menghiasi kiri kanan bukit. Kami bahkan menemui begitu banyak tumpukkan daun Nilam setinggi orang dewasa dipinggir jalan, sebagian tertutup terpal sebagian lagi tidak. Nilam hasil panen ini umumnya milik warga transmigrasi. Sepanjang perjalanan, kami juga menemui beberapa tumpukan kayu Eucalyptus yang cantik itu, mengonggok di pinggir jalan. Kayu-kayu ini akan dijadikan bahan bakar di rumah-rumah penyulingan milik warga transmigrasi yang bermodal besar.

Semakin jauh kedalam, tanjakan dan kelokan semakin bervariasi. Jalan tanah yang licin dan kadang berbatu, sangat membutuhkan keseimbangan pengendara motor. Saat hujan lebat turun, bahkan mereka yang berpengalaman pun tidak ingin melewati jalan ini sendirian, sebab beberapa bagian jalannya akan menjadi jebakan lumpur yang dalam dan lengket. Beruntung saat melewatinya, kami hanya disambut rintik gerimis.

Saya kemudian tersadar, saya benar-benar di wilayah asing yang belum pernah saya datangi sebelumnya, orang- orang kota dengan kesibukannya tidak akan berpikir bahwa jauh dalam rimba Tojo Una-una ada denyut kehidupan yang telah berlangsung ratusan tahun. Saat ini denyut kehidupan itu bahkan bertambah cepat, bergerak, berganti, berpacu dengan kehadiran komunitas baru, persaingan baru, budaya baru, dan gaya hidup baru.

Hari bergerak menuju siang di hari ketiga bulan Oktober, Lengkasa menyambut kami dengan cuaca cerah. Gerimis yang sebelumnya mengiringi perjalanan kami berganti langit cerah berawan. Lengkasa merupakan salah satu dari beberapa Lipu di wilayah Vananga Bulang. Di sini, Apa Anca yang bertindak sebagai Tau Tua Lipu atau pimpinan kampung, sementara Dodi sebagai Tau Tua Ada atau Ketua Adat, mereka berdua ada disana saat kami tiba.

Secara administratif Lipu Lengkasa merupakan dusun dati Desa Uwe Matopa, kecamatan Ulu Bongka. Di Lipu ini terdapat sebuah bangunan sekolah dasar negeri, dua buah gereja, dan sebuah masjid. Selain itu terdapat pula belasan bangunan rumah layak huni dari program pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Dinas Sosial, sayangnya hanya satu dua bangunan saja yang terisi.

Kami beristirahat di sebuah rumah panggung tradisional khas Tau Taa Wana yang rencananya akan dibangun Perpustakaan Lipu oleh Yayasan Merah Putih. Mobil jenis Hard Top beberapa kali hilir mudik membawa tumpukan daun Nilam. Beberapa sepeda motor tak mau ketinggalan seolah memacu denyut kehidupan di Lengkasa. Denyut yang belum menemukan bentuknya yang mapan, denyut yang membawa ketidakpastian dan kecemasan baru bagi warga Tau Taa Wana. (*)

sumber : Metrosulawesi Edisi Senin 20 November 2017 Hal 14

Lihat Juga

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...

Para Pihak Satukan Komitmen Mendorong Pengakuan Hutan Adat di Sulteng

Palu(3/6/2016),Untuk menyatukan komitmen dan peran para pihak dalam memperkuat dukungan atas gerakan mendorong pengakuan dan ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *