Dasar Kebijakan Hutan Adat
Masyarakat hukum adat belum dapat hidup tenang ditanahnya sendiri. Proses sosial dan kebijakan belum berpihak pada masyarakat adat. Beberapa kasus yang mengiris hati. Desa Sedoa di lembah Napu, Kabupaten Poso yang didiami oleh Suku Tawaelia-Pekurehua. Luas desa 51.879 ha, namun 48% (+/-24.902 ha) bagian barat dan utara ditetapkan sebagai kawasan konservasi TNLL bagian timur dan selatan 46% (+/- 23.864 ha) ditetapkan sebagai hutan lindung. Sisa 6 % bagi masyarakat Sedoa yang dipakai sebagai lahan permukiman, pertanian serta sarana dan prasarana sosial lainnya.
Konflik lahan pun muncul berlangsung sejak 1997, yang ditandai dengan adanya penetapan patok atau pal batas hutan lindung secara sepihak dan terjadi penangkapan masyarakat Sedoa dengan dalih masyarakat menggarap lahan pertanian di dalam kawasan hutan lindung. Pada masyarakat lain yakni Tau Taa Wana di Kabupaten Tojo Una-una, tekanan datang dari proyek pemerintah maupun pegusaha berupa kasus penyerobotan hak hutan ulayat dan semakin marak. Tahun 1980-an, 2 HPH yakni PT Palopo Timber dan PT Balantak Rimba Rezeki telah menghancurkan hutan yang berada di wilayah adatnya. Proyek transmigrasi Dataran Bulang tahap pertama oleh Departemen Transmigrasi seluas 3.747 ha pada tahun 1994.
Kasus demi kasus merundung nasib masyarakat adat sehingga 3 organisasi rakyat (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu) menggugat UU 41 tetang kehutanan di Mahkamah Konstitusi. MK pun mengabulkan sebagian uji materi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam putusannya, MK membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam UU Kehutanan pada pasal 1 angka 6 dulunya berbunyi, Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat berubah menjadi – Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
Kini, situasinya mulai menunjukkan komitmen pemerintah terkait pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya. Bahkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 — menargetkan 12,7 juta hektar hutan untuk rakyat melalui skema perhutanan sosial termasuk hutan adat. Hal ini sesuai dengan nawacita presiden yaitu, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, serta membangun negara dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Tujuan pengaturan hutan hak agar pemangku hutan hak mendapat pengakuan, perlindungan dan insentif dari pemerintah dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu, hal ini tertuang jelas pada pasal 2 ayat 2 dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 32 tahun 2015. Pada Permen LHK nomor P.83 tahun 2016 yang terdapat pada pasal 50 ayat 1 tertuang bahwa masyarakat hukum adat dapat mengajukan permohonan hutan hak untuk di tetapkan sebagai kawasan hutan hak kepada menteri. Untuk dapat mengajukan permohonan penetapan hutan adat, masyarakat hukum adat terlebih dulu diakui melalui bentuk produk hukum daerah, hal ini di tegaskan dalam Permen LHK nomor 32 tahun 2015 pada pasal 6 ayat 1 point a
Peluang mendorong pengakuan hutan adat di Sulawesi Tengah saat ini sangat besar, kebijakan daerah diantaranya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta Program dan rencana kerja Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah juga mengakomodir pengakuan hutan adat. Prasyarat berupa Pengakuan entitas MHA dalam bentuk peraturan daerah juga telah ada, beberapa Pemerintah Kabupaten di Sul-teng telah menginisiasi Perda pengakuan MHA .