CERITA DARI WANA
Foto dan teks oleh Agung Wibowo
Banyak hal dapat kita lakukan agar laku sejarah perjalanan kita dan pendahulu kita tetap sampai pada anak cucu kita.
Di Wana Posangke, Sulawesi Tengah (1-15 Mei 2016) saya hanya melakukan sedikit dari banyak hal itu. Memotret, berbincang, dan berkelakar.
Semoga dari catatan yang sedikit ini dapat berbicara banyak bagi perjalanan sejarah kita.
Awal-Mula
Kawula muda sedang gandrung-gandrungnya dengan film AADC2 dan Clvll War saat Itu. Sebagal pemuda yang selalu up to date dan kekinian, saya harus rela menanggalkan film-film teranyar itu untuk menemani penelitian seorang kawan. Wajah ayu Dian Sastro pun sirna seketika Tubuhnya yang besar dan rambutnya yang gondrong bukan jadi alasan ketakutan saya untuk menemaninya. Paling tidak saya penasaran mengenai metode memotret kebudayaan agraria sebagai kebuntuan advokasi pengakuan masyarakat hukum adat selama ini. |
Ialah Sentot Setyasiswanto, atau biasa saya panggil Mas Sentot. Peneliti yang berdomisili di Kalimantan Barat ini menjelaskan arti penting sebuah foto, la tak hanya sekadar menghadirkan sajian yang belum direkam publik, tapi ia juga menyampaikan pesan dari orang-orang kampung. Kadang potret tak sekadar hanya proses fotografi. Potret jadi metafor kita dalam menelaah makna kehidupan. Jadi tafsir manusia atas fakta yang ada. Singkat cerita, kami pun berangkat menuju Wana Posangke, Sulawesi Tengah dari 1-15 Mei 2016. |
Titik Berangkat
“Ngopidulu Bung” sanggah Edi Wicaksono, Staf Program Hutan Adat Yayasan Merah Putih di sela-sela perbincangan. Kami sedang berdiskusi mengenai apa yang hendak kami pelajari di tempat belajar kami nanti, di Wana Posangke, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Mas Sentot memaparkan lebih dulu maksud dan tujuan mengenai kebudayaan agraria. Gayung bersambut oleh Azmi Sirajudin, manajer program Yayasan Merah Putih yang memaparkan kondisi sosial serta kebiasaan-kebiasaan orang Wana. |
Edi dan Jaka ambil giliran. Paparkan kondisi lapangan dengan dua rute tempuh. Pertama, via Kolonodale, dengan jalur darat 8 jam, disambung perjalanan laut ke Baturube dengan perahu selama 6 jam. Rute kedua adalah via Luwuk, dengan jalur darat selama 21 jam, ditambah jalur darat kembali ke Baturube selama 6 jam. Beruntung hujan turun deras, menyebabkan kami singgah lama di kantor Yayasan Merah Putih. Lampu pijar pun tiba-tiba mucul di kepala dan menemukan ide soal rute penerbangan. Rupanya rute penerbangan ke Luwuk kini dibuka tiap hari. Pada akhirnya kami memutuskan untuk terbang ke Luwuk dan melanjutkan ke Baturube via jalur darat. Ini memangkas 20 jam waktu tempuh. |
MUSIM PANEN
“Wah! Ini luar biasa”! Ujar Mas Sentot seraya tersenyum lebar.
Gantungan gabah padi itu terlihat segar dan kuning. “Ini sedang musim panen” ujar Apa Imel salah seorang masyarakat dari Lipu Pumbatu.
Seorang ibu menumbuk padi di alu dengan tenaga yang kuat, la menyiapkan makan malam untuk kami di Lipu Sumbol.
Ini suatu kemewahan bagi kami, dapat memakan beras segar yang baru dipanen.
“Biasanya lebih ramai dan ada padungku (pesta panen), tapi panen kali ini tidak terlalu banyak hasilnya,” papar Apa Imel yang rumahnya kami tinggali.
BUDAYA KULINER
Saya yakin makanan dan minuman tak hanya habis ceritanya di mulut atau di meja makan saja, la memberikan arti lebih. Misalnya pada Pesta Teh Boston (1773). Teh tak hanya dapat diartikan sebagai minuman. Sebab teh di Boston jadi bentuk perlawanan rakyat ketika melakukan protes pajak komoditas dari Britania Raya. Mereka larungkan teh-teh tersebut di Pelabuhan Boston. Atau Orang-Orang Eropa pada abad 14 begitu mendewakan rempah-rempah sebagai penemuan baru (invention) dan membuat mereka terobsesi untuk mengarungi dunia. |
Ini pulalah yang terjadi pada budaya kuliner di Wana Posangke. Meski makanan dan minuman tersaji secara sederhana, tapi kaya akan makna. Mereka kerap membuat dui, makanan semacam papeda di Papua, tetapi terbuat dari singkong. “Dulu ketika masih banyak pohon sagu di hutan kami buat dari sagu” begitu kata Indo Imel, seorang Ibu dari Lipu Pumbatu. Tak kehabisan akal, mereka pun jadikan sagu dari singkong, termasuk jadi kuliner alternatif pengganti nasi. Turunan makanan dari singkong ini juga dapat dibuat pelbagai macam kudapan, salah satunya seperti pada gambar ini. |
Singkong jadi panganan kaya gizi, diolah dalam pelbagai rupa. Ini merupakan kuliner alternatif ketika menunggu panen atau ketika gagal panen sekalipun.
Popondo adalah alat musik terbuat dari kayu, tempurung kelapa, dan senar. Popondo/Taiindo ini merupakan alat musik jenis sitar berdawai satu (one stringed stick zilher). Tempurung kelapa berfungsi sebagai resonator. Alat musik ini dimainkan secara tunggal setelah Orang Wana merayakan pesta panen dan untuk mengisi waktu senggang
Geso-geso adalah alat musik terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi dawai. Cara membunyikan dawai adalah dengan digesek melalui alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali, sehingga menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan tekanan jari si pemain pada dawai.
Suara jangkrik dan kepik mengiringi simfoni dari dua maestro musik Wana. Mereka melantunkan irama kehangatan bersama alam, seraya berkata bahwa ini adalah rumah kita sendiri.
Ibu-bapak sibuk menjalani rutinitas harian dalam masa panen. Kini sang kakak harus bertugas menjaga adik-adik.