(Luwuk, 25/9/2015), “Kami tidak menginginkan hutan yang berada di wilayah desa kami dirusak demi memenuhi kebutuhan kayu PT.Dahatama Adikarya atau siapa pun,” ungkap Piko warga desa Toima. Protes penolakan warga terhadap PT. Dahatama Adikarya telah mereka lakukan semenjak perusahaan tersebut memulai pembuatan jalan koridor yang terletak di wilayah Desa Koili dan Desa Toima.
Penolakan yang sama juga dari warga Desa Balean terhadap beroperasinya PT.Dahatama Adikarya dengan cara tidak menginjinkan PT.Dahatama Adikarya melakukan sosialisasi di desa Balean. Sayangnya penolakan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah desa. Pihak perusahaan pun melakukan upaya lain, mulai dari melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat desa Balean sampai dengan iming-iming bantuan uang Sebesar Rp 1.500.000 untuk 3 rumah ibadah yang ada di desa Balean.
Ditengah protes masyarakat, PT. Dahatama Adikarya yang mendapatkan IUPHHK pada tahun 1995 Dengan luasan mencapai 64.620 Hektar, telah menyelesaikan pembangunan jalan koridor. Kini proses penebangan pertamanya akan segera dimulai. Sesuai dengan jadwal RKT serta ukuran pohon yang termuat dalam dokumen IUPHHK dan dokumen AMDAL PT.Dahatama Adikarya, lokasi penebangan pertama untuk Kecamatan Lobu dimulai dari blok 66 dan blok 67 yang terletak diwilayah desa Balean.
Berdasarkan hasil sosialisasi PT. Dahatama Adikarya pada tanggal 28 Mei 2015 di Kantor kecamatan Lobu yang di hadiri oleh masyarakat Kecamatan Lobu dan perwakilan dari Dinas Kehutanan , ada kesepakatan untuk meninjau lokasi blok 66 dan 67.
Karena menurut pihak perusahaan belum ada aktivitas penebangan yang dilakukan. Selama ini baru memasak tapal batas. sementara aktivitas penebangan sering didengar oleh warga melalui deru mesin yang terdengar. Untuk mengetahui kebenarannya, dibentuklah tim survei yang terdiri dari 5 orang warga desa Balean, 2 orang warga desa Bomban, 1 orang warga Desa Niubulan, 1 orang warga Desa Lobu, 2 orang warga Desa Bahingin dan 1 orang dari desa Uhauhagon.
Dari hasil survei lapangan tepatnya 4 Juni, tim yang diketuai oleh pak Edison tersebut, menemukan adanya 151 tebangan yang tersebar di 4 lokasi yang masuk dalam blok 66 dan blok 67. Lagi-lagi sosialisasi dan kenyataan dilapangan tak sejalan, perusahaan tetap beroperasi walaupun masyarakat menolak.
Penolakan warga ini didasari atas wilayah desa mereka yang rawan terhadap banjir. Sehingga keselamatan warga menjadi salah satu poin penting dalam protes dan penolakan mereka. Kisah banjir bandang yang terjadi pada tahun 2006 di Desa Balean, dan sekitarnya menjadi pembelajaran dalam mengolah hutan diwilayah tersebut. Banjir yang meluap hingga ke rumah warga telah menghanyutkan satu unit rumah.
Demikian dengan desa Koili dan desa Toima bahkan seluruh desa-desa yang berada di perbatasan Kecamatan Bunta dan Kecamatan Lobu yang diporak poranda oleh banjir bandang yang menghanyutkan 10 rumah warga ditahun 90an. Sehingga mempertahankan kawasan hutan adalah hal penting untuk diperjuangkan.
“apabila hutan yang menjadi penyangga desa dan juga menjadi sumber penghidupan masyarakat desa dirusak maka bencana banjir bandang sudah pasti akan terjadi dan lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban,” jelas Edison warga Desa Balean. (Ani)