Kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga hutannya akan terancam jika status wilayah adat tidak juga dihormati negara.
Berladang ialah gantungan hidup bagi Iku, warga komunitas adat Tau Taa Wana Posangke Sulawesi Tengah.Namun, saat panen masih jauh, perempuan berusia 43 tahun itu tidak juga risau.
Hutan di wilayah adat itu ialah pelin-dung yang murah hati. Iku bisa men-cari getah damar, rotan, gaharu, hingga madu.
Jika beruntung, sekali pergi ia bisa mendapat 30 kg getah yang bisa dijual Rp8.000/kg. Pendapatan itu cukup ber-arti untuk keluarganya yang memiliki lima anak.
Kemurahan hati hutan ia balas dengan ketaatan. Wilayah adat seluas 20.583 hek-tare yang terhampar di lembah dan bukit-bukit sepanjang aliran Sungai Salato itu memiliki wilayah larangan. “Kami tidak pernah masuk situ (hutan larangan). Kalau masuk, bisa kena hukum adat,” jelas Iku kepada Media Indonesia, Selasa (7/10).
Iku mengatakan warga yang melang-gar diharuskan membayar denda berupa pakaian atau peralatan rumah tangga. Namun, sejauh ini, menurutnya, warga adat Wana Posangke yang menurut survei Yayasan Merah Putih (YMP) berjumlah 523 orang taat pada aturan adat.
Berdasarkan laporan yang dibuat YMP, komunitas adat ini memiliki tata guna lahan yang cukup detail. Selain kawasan larangan yang disebut kapali, ada hutan Pompalivu yang merupakan tempat mengambil damar, rotan, hingga madu.
Kemudian terdapat pangale atau hutan yang belum diolah dan menjadi tempat perlindungan mata air dan kesuburan ta-nah. Area perladangan berada di tempat terpisah dan disebut navu, area mukim disebut lipu, bekas kebun dengan tegakan pohon berusia di bawah 10 tahun disebut yopo mangura dan kebalikannya adalah bekas kebun yang disebut yopo masia.
Zonasi hutan ini sesungguhnya juga bukti kearifan lokal warga Wana Posangke soal kelestarian lingkungan. Pasalnya, dijelaskan Direktur Operasional YMP Amran Tambaru, zonasi itu sesuai dengan topografi lahan.
“Daerah larangan itu terletak berada di lereng-lereng yang curam jadi dengan larangan itu fungsi tangkapan air terjaga. Sekaligus juga menjaga sawah-sawah yang berada di bawahnya,” tutur Amran di kesempatan terpisah. Maka sesungguh-nya para warga adat telah menjadi penye-lamat alam dengan caranya sendiri.
Sayang, pola kehidupan yang ramah lingkungan ini mulai terancam. Amran mengungkapkan telah ada izin dari peme-rintah daerah untuk eksplorasi tambang nikel dan pembukaan kebun bagi pihak asing. “Sampai saat ini eksplorasi itu be-lum berjalan. Namun, kalau sampai benar berjalan, pengelolaan hutan oleh warga adat akan terancam,” ujarnya.
Putusan MK
Pemberian izin eksplorasi bagi pihak asing di wilayah adat Wana Posangke se-sungguhnya tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/2012. Dalam putusan MK menetapkan bahwa hutan adat tidak lagi diklasifikasikan sebagai hutan negara, tetapi bagian dari hutan hak.
Dengan putusan MK itu, masyarakat adat merupakan penyandang hak (rights bearer) dan subjek hukum atas wilayah adatnya, termasuk hutannya. Dengan begitu, semestinya negara tidak lagi bisa mengklaim penguasaan hutan adat dan mengalokasikannya untuk berba-gai peruntukan, termasuk memberi izin eksplorasi.
Namun, agar masyarakat adat benar-benar terakui sebagai pemilik hutannya, ternyata jalan masih panjang. Berbagai pihak masih berusaha mempertahan-kan penguasaan negara terhadap hutan adat.
Kementerian Kehutanan pun telah menyatakan pelepasan hutan adat dari kawasan hutan negara hanya dapat dilakukan apabila ada persetujuan dari pemerintah daerah.
Hal senada dikatakan pula Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Ba-litbang) Kehutanan Kementerian Kehu-tanan San Afri Awang. “Harus dari daerah dulu. Kalau masalah kendala identifikasi ahan, untuk beberapa wilayah sudah ada peta partisipatif yang dapat digunakan. Jadi, tinggal kemauan pemda saja, mau atau tidak memberi pengakuan terhadap hutan adat,” tuturnya di sela-sela Dialog Nasional Penetapan Hutan Adat demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat, di Jakarta, Kamis (2/10).
Bagi masyarakat Wana Posangke sen-diri, perjuangan pengakuan hak telah mereka lakukan sejak 2010 bersama dengan YMP. Hasilnya pada 2012 lahir pengakuan terhadap entitas suku Wana, yakni lewat Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Morowali No 13/2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
Namun, perda itu masih memiliki kele-mahan besar karena belum mencantum-kan pengakuan terhadap wilayah adat suku itu. “Kami terus berusaha dorong, termasuk lewat upaya pembuatan peta partisipatif,” tambah Amran.
Pemetaan hutan adat memang menjadi hal penting untuk mendapat pengakuan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62 Tahun 2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan mengharuskan masya-rakat memberi bukti tertulis soal klaim atas tanah. Di sisi lain, syarat itu cukup memberatkan karena masyarakat adat terbiasa hidup dengan budaya lisan.
Kondisi di Wana Posangke hanyalah sedikit gambaran dari banyak permasa-lahan hutan adat serupa. Hingga kini ma-syarakat adat Seko masih terus berjuang untuk mendapat pengakuan atas hutan adatnya yang terletak di Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Hal yang sama juga dialami ‘penjaga-penjaga’ alami hutan adat. Masyarakat adat Nagari Simpang masih berjuang un-tuk hutan mereka di Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, serta suku Bajang Rejang untuk hutan adat di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu Utara.( Bintang Kristianti)
Sumber : Media Indonesia ( 11 Oktober 2014 )
[wptab name=’File PDF MI Edisi 11/10/2015 Rubrik Jejak Hijau’] [/wptab] [end_wptabset]
Dapat di Download Bebas