(Donggala, 17/9/205),Ternyata, persoalan transmigrasi Bayang tidak hanya soal status lahan, tapi juga mafia tanah. Terendus mafia tanah sudah bermain sejak lokasi transmigrasi ini ditempati di tahun 2004. Mafia tanah ditengarai melibatkan beberapa oknum di daerah ini. Praktek mafia tanah berlangsung dalam bentuk pengalihan tanah permukiman dan tanah garapan. Antara penghuni yang terdaftar sebagai warga trans, dengan orang dari luar yang gemar mengakumulasi lahan.
Salah satu pihak yang ditengarai ikut menjadi mafia penjualan tanah di bawah tangan adalah oknum pejabat Nakertrans Provinsi, dulunya sempat menjabat sebagai Kepala UPT Bayang. Salah seorang warga trans Bayang menuturkan bahwa selama menjabat sebagai Kepala UPT Bayang, oknum tersebut justru memerintahkan tanah-tanah yang dihuni oleh warga trans dijual saja kepada orang luar, jika warga tidak ingin tinggal di lokasi tersebut. Alhasil, setiap transaksi penjualan dan pengalihan tanah di bawah tangan, dimintakan uang Rp.500.000 per transaksi. Oknum tersebut sudah menikmati uang transaksi sekitar tiga tahun menjabat Kepala UPT.
“Kami sudah pernah melaporkan hal tersebut ke Nakertrans Provinsi, namun yang kami dapat justru ancaman pembunuhan dari oknum pejabat yang bersangkutan”, ujar seorang warga trans Bayang yang berkunjung ke Yayasan Merah Putih (YMP). Sayang sekali, oknum pejabat Nakertrans yang dimaksud kemungkinan sudah pensiun hari ini. Usai rapat dengar pendapat dengan DPRD Donggala pekan lalu, warga trans Bayang yang masih bertahan di lokasi tersebut sepakat untuk mengangkat isu pejualan tanah tersebut ke pihak berwenang.
Seharusnya tidak boleh ada transaksi jual beli tanah di lokasi trans Bayang. Karena, status penguasaan dan pemilikan tanah belum jelas secara hukum. Mengingat lokasi trans Bayang hingga kini belum memperoleh pelepasan status kawasan hutan dari Kementrian LHK. Bahkan sejak Gubernur Sulteng memohonkan pelepasan status kawasan kepada Menteri Kehutanan di tahun 2005, hingga kini belum ada kepastian. Bahkan ketika rencana tata ruang wilayah provinsi telah direvisi tahun 2013, status lokasi trans Bayang masih sebagai kawasan hutan.
Dengan kondisi serba kabur dan tidak jelas secara legal terkait hak atas tanah di Bayang, maka diduga motif mafia tanah melakukan transaksi tersebut adalah untuk akumulasi lahan yang luas. Sehingga, ketika telah terjadi kejelasan status tanah APL dan dapat disertifikatkan, maka akan ada beberapa orang yang akan memiliki lahan cukup luas di Bayang. Praktek ini mesti ditelusuri oleh pihak berwajib, termasuk oleh Dinas Kehutanan sebagai instansi berwenang di bidang kehutanan. Sebab, terjadi jual beli tanah secara siluman, di mana tanah negara dengan status kawasan hutan diperjual belikan secara sepihak.(Azmi)