Ekonomi Politik Dan Kedaulatan Tanah Leluhur Tau Taa Wana

Insert Foto : PO Hutan dan Perubahan Iklim 2014

Azmi Sirajuddin*

Sekilas Tau Taa Wana

Tau Taa Wana atau yang lebih dikenal dengan komunitas Wana, dikenal sebagai peladang tangguh di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Ketangguhan sistem perladangan Tau Taa Wana didasari oleh kemahiran mereka dalam pengaturan tata guna lahannya. Pengetahuan tata guna lahan maupun tata guna hutan disandarkan pada pengalaman panjang berinteraksi dengan alam sekitarnya. Di mana mereka menganut filosofi bahwa gunung (tongku) adalah raga dan sungai (koro) adalah jiwa. “Kami panggil roh-roh leluhur agung, yang bersemayam di Lemban Sinara, yang mengalir bersama di Sungai Bongka” (Atkinson, 1989).

Dalam peta mental mereka, lanskap atau bentang alam di mana mereka menetap terdiri atas sungai dan pegunungan. Yang mana Sungai Bongka yang bermuara ke Teluk Tomini di sebelah utara, serta Sungai Salato yang bermuara ke Teluk Tolo di sebelah selatan, dan Gunung Tokala (2630 mdpl) yang memisahkan kedua sungai tersebut, adalah lanskap utama yang membentangi wilayah adat dan wilayah kelolanya. Gunung Tokala dipandang sebagai tempat keramat bagi Tau Taa Wana, karena mereka meyakini bahwa setelah meninggal dunia, di sanalah roh-roh mereka akan bersemayam menjadi leluhur bagi generasi berikutnya. Sebab dari sana pula mereka berasal di salah satu tempat yang bernama “Tongku Tua” di sekitar Kajumarangka. Selain itu masih ada sebaran gunung lainnya seperti Tongku Barenge, Ponggawa dan Katopasa yang turut membentangi lanskap tradisional mereka.

Dok-Foto-Anya-2Secara geografis, Tau Taa Wana tersebar di tiga kabupaten, di wilayah Tojo Una-Una, Banggai dan Morowali Utara. Kruyt (1930) mengelompokkan mereka ke dalam empat sub-etnik, meliputi Kasiala, Burangas, Untunue dan Posangke. Rumpun Burangas kebanyakan mendiami wilayah Batui – Toili di Kabupaten Banggai. Sedangkan rumpun Kasiala umumnya mendiami wilayah sekitar Ampana Tete hingga Ulu Bongka, Kabupaten Tojo Una-Una. Adapun rumpun Posangke umumya berada di bahagian timur CA Morowali. Sedangkan Untunue, berada di wilayah terdalam dari CA Morowali, di sekitar Kajumarangka. Secara linguistik, Tau Taa Wana dikategorikan sebagai sub-rumpun Pamona. Karena Bahasa Taa sebagai lingua-franca komunitas ini termasuk rumpun Bahasa Pamona (Atkinson, 1989) dan Grimes (1991).

Pada masa lampau, kolonial Belanda dan Jepang melabeli mereka dengan sebutan “Orang Wana”, artinya orang yang tinggal di dalam hutan. Kata “Wana” dipetik kaum kolonial dari Bahasa Sanskrit, yang bermakna “hutan”. Penyebutan kolonial Belanda maupun Jepang dengan sebutan “Orang Wana” adalah tekanan politik terhadap Tau Taa Wana. Karena berbagai upaya pemaksaan fisik untuk menurunkan mereka bermukim di wilayah pesisir gagal. Sehingga kolonial merasa putus asa dalam upaya-upaya pemindahan mereka ke wilayah pesisir. Mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai “Tau Taa”. Yaitu orang-orang yang selalu berkata jujur dan konsisten menyatakan “tidak”, jika ada kepalsuan dan kebohongan. Karena arti kata “Taa” ialah “tidak”, yang secara idiomatik pernyataan sikap penolakan terhadap segala bentuk kezaliman dan penindasan (Camang, 2003).

Tau Taa Wana sendiri hidup berkelompok, dan orang luar menandai kelompok-kelompok tersebut sesuai pada lanskap atau bentang alam di mana mereka berada. Misalnya Wana Bulang, berarti Tau Taa Wana yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Bulang. Begitupun dengan Wana Salaki yang merujuk kepada Sungai Salaki, ataupun Wana Posangke, Wana Kajupoli, Wana Uevaju, dan Wana Kajumarangka yang seluruhnya merujuk kepada bentang alam di mana mereka menetap. Umumnya, ikatan di antara anggota kelompok disandarkan pada ikatan kekerabatan dan karena tokoh panutan yang sama. Misalnya, dalam satu kampung tradisional (lipu), setengah penghuninya memiliki ikatan darah, sedangkan setengah yang lainnya karena punya tokoh panutan yang sama. Tokoh panutan biasanya kepala kampung (tau tua lipu), ataupun kepala adat (tau tua ada), ataupun tabib (tau valia), atau person yang memiliki pengaruh terhadap anggota komunitas.

Yayasan Merah Putih (YMP), dalam gerakan sosialnya bersama komunitas setempat bersepakat menggunakan

Insert Photo : Aktivitas tambang

istilah “Tau Taa Wana” sebagai gerakan ekonomi-politik. Penyebutan ini lebih bermakna luas. Secara internal, komunitas tidak kehilangan identitasnya sebagai “Tau Taa”, sedangkan secara eksternal, para pihak akan lebih mudah mengenali mereka, karena emblem “Wana” yang lebih luas dikenali di luar. Sejak penyebutan “Tau Taa Wana” ini mulai didengungkan melalui gerakan sosial pada awal 2000-an, perhatian banyak pihak mulai tertuju kepada komunitas ini. Terutama setelah adanya perjuangan menuntut rekognisi atas wilayah adat dan subjek hukum masyarakat adat, yang dimulai sejak tahun 2005 di level provinsi, melalui pengusulan Ranperda Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Sulawesi Tengah.

Tana nTau Tua Mami

Pandangan hidup “tana ntau tua mami” – tanah leluhur hidup kami, adalah sikap dasar yang dimiliki oleh setiap anggota komunitas. Tanah leluhur, baik sebagai ruang tinggal, ruang produksi dan ruang publik, bukan untuk diperjual-belikan sebagaimana halnya komoditas pasar. Karena “tana ntau tua” merupakan senyawa utama perjuangan pengakuan terhadap wilayah adat dan wilayah kelolanya. Konsepsi “tana ntau tua” melampaui imaji tentang perjuangan pengakuan masyarakat adat itu sendiri. Padanya melekat multidimensi kehidupan yang sangat kompleks serta terikat satu sama lainnya. Di dalamnya ada hak tenurial, hak asal usul, hak penguasaan kolektif, hak pemilikan kolektif, hak pengaturan kolektif, hak pengelolaan kolektif, hak pemanfaatan kolektif, hak perlindungan kolektif, hak keselamatan kolektif, hak rekayasa kolektif, dan hak kekayaan intelektual.

Konsepsi “tana ntau tua” kemudian diterjemahkan lebih praksis oleh komunitas untuk tujuan pengaturan yang adil dan bermanfaat, melalui rekayasa sosial berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan alam semesta. Khususnya untuk menjaga dan merawat keberlangsungan sumber daya lokal, agar tetap lestari sehingga dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Jika alam semesta adalah makro kosmik, maka “tana ntau tua” adalah mikro kosmik yang praksis dan empirik, di mana segala kepentingan sosial, budaya, ekonomi dan politik bertautan, dengan tujuan membawa komunitas berdaulat atas ruang hidupnya sendiri.

Tata guna lahan Tau Taa Wana mencerminkan keselarasan dan keterpaduan dengan alam sekitar (YMP, 2004), (Pitopang, 2012). Selain mengedepankan prinsip-prinsip ekologi, akumulasi penggunaan lahan sangat minimalis, sebab disesuaikan dengan kebutuhan subsistensi, bukan untuk kepentingan pasar. Rasio penggunan lahan dengan sistem perladangan rotasi dalam rentang 5 tahun hanyalah 0, 25 hektar, untuk setiap keluarga. Jika dihitung dengan lokasi perburuan untuk keperluan protein dan gizi keluarga, maka cakupannya hanya 0,90 hektar (Alvard, 2000). Sehingga sistem perladangan dan perburuan Tau Taa Wana selain minimalis, ia juga harmonis terhadap keberlangsungan pelayanan alam.

Pengaturan “tana ntau tua” sebagai ibu pertiwi, juga dapat dilihat dari nilai kepentingan ekologisnya dari masing-masing kawasan. Studi Etnobotani Tau Taa Wana Bulang tahun 2004, serta Studi Tata Guna Hutan dan Lahan Wana Posangke tahun 2015, memperlihatkan varian nilai kepentingan setiap kawasan. Di Pangale Kapali sebagai kawasan yang dikeramatkan dan dilindungi, memainkan peranan sebagai kawasan tangkapan dan resapan air, serta areal konservasi tumbuhan dan satwa liar yang umumnya endemik Sulawesi. Hewan seperti Babi Rusa, Kera Sulawesi, Anoa, Tarsius, Kuskus, Musang Sulawesi Rangkong, Maleo dan Rusa, umumnya berlindung di kawasan ini. Bahkan kelebatan tutupan lahan dan kanopi hutan di kawasan ini sangat mengagumkan, secara alamiah berfungsi sebagai penyimpan dan penyerap karbon, sehingga iklim mikro hutan hujan tropis di wilayah itu tetap terjaga.

Di kawasan Pangale (hutan produksi), yang secara alamiah adalah hutan primer, berkontribusi sebesar 36% untuk pemenuhan kebutuhan hidup komunitas. Di kawasan ini bersumber bahan-bahan untuk perlengkapan rumah tangga, bahan konstruksi rumah, bahan konstruksi perahu, bahan anyaman, tali-temali, dan bahan untuk membuat peralatan berburu, obat-obatan, bahan pewarna (Tambaru, 2015). Di kawasan ini pula komunitas meramu dan memproduksi hasil-hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa rotan, damar, gaharu serta madu. Dari kawasan inilah Tau Taa Wana memproduksi rotan alam secara reguler, sehingga turut berkontribusi bagi stok rotan alam Sulawesi Tengah.

P-FILM-SKOLIP-586Sedangkan nilai kepentingan Yopo (hutan produksi terbatas) sekitar 34% untuk keperluan komunitas. Di kawasan ini tersedia bahan hiasan dan ritual adat, ramuan rumah, obat-obatan, serta sumber energi.Yopo secara alamiah merupakan hutan sekunder terbagi ke dalam dua kategori. Yopo Mangura, adalah hutan sekunder yang usia pepohonan atau tegakan pohonnya di bawah 10 tahun. Sedangkan Yopo Masia merupakan hutan sekunder yang usia tegakan pohonnya sudah di atas 10 tahun, atau satu batang pohon tidak dapat lagi dirangkul oleh satu orang.
Berikutnya Navu (areal pertanian-perladangan), berkontribusi sekitar 21% untuk keperluan hidup komunitas. Mereka menanam berbagai macam bahan pangan seperti padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Karena itu pula, di setiap wilayah adat atau wilayah kelola Tau Taa Wana, Navu menjadi lumbung pangan komunitas. Begitu sentralnya peranan Navu bagi kehidupan komunitas, tak jarang mereka mendirikan rumah di sana. Sehingga, acapkali kita menemukan fakta bahwa permukiman tradisional (Lipu) terbentuk oleh kesatuan rumah-rumah di areal perladangan.

Sedangkan Pompalivu (areal penggunaan lain) berperan sekitar 9% untuk penyediaan keperluan komunitas. Di kawasan ini masih dapat dijumpai bahan untuk konstruksi rumah dan perahu, serta sumber makanan cadangan. Biasanya, di kawasan ini komunitas mendatangi Pinamuya nTau Tua (tanaman peninggalan leluhur) untuk menghilangkan kejenuhan dari rutinitas, sembari memeriksa tanaman leluhur. Lazimnya, tanaman peninggalan leluhur berupa sagu, durian, nangka, kelapa, kemiri, serta pinang. Areal tempat tumbuhnya tanaman leluhur terkadang juga adalah bekas permukiman lama di masa lampau, yang ditinggalkan karena alasan rotasi, bencana alam dan bencana sosial.

Kedaulatan Serta Dinamika Pasar

Gambaran tentang keberadaan “tana ntau tua” (tanah leluhur) di atas menunjukan bahwa konsepsi tanah tumpah darah, ibu pertiwi dan tanah air bagi Tau Taa Wana begitu fundamental posisinya bagi kehidupan komunitas. Di sinilah makna kedaulatan itu sesungguhnya berada, melampaui batas imaji kita tentang apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan pengakuan masyarakat hukum adat saat ini. Karena kedaulatan dalam pandangan Tau Taa Wana adalah hak fundamental, anugerah bagi setiap insan dari Yang Maha Kuasa.

Relasi kedaulatan dan dinamika pasar di tengah Tau Taa Wana sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, jika kita memaknai pasar sebagai “ruang pertukaran komoditas”. Berbagai literatur menunjukan bahwa pertukaran komoditi yang melibatkan Tau Taa Wana berlangsung di bandar-bandar dagang seperti Ampana dan Bungku sejak abad ke-18. Dimulai dari pertukaran komoditi dengan pusat-pusat kekuasaan politik lokal di wilayah pesisir. Seperti Kerajaan Tojo di Teluk Tomini dan Kerajaan Bungku di Teluk Tolo (Atkinson, 1989), kemudian terhubung pula ke Kerajaan Ternate dan Kerajaan Gorontalo.

Memasuki abad ke -19, kompeni Belanda, saudagar Tiongkok, saudagar Timur Tengah, serta saudagar lokal mulai ikut terlibat dalam pertukaran komoditi. Sehingga menaikan tensi persaingan untuk merebut jaringan komoditi penting dari dataran tinggi. Komoditi yang diperebutkan adalah rotan, damar, gaharu, kayu manis dan kemiri, yang merupakan kebutuhan global ketika itu. Dipertukarkan dengan garam, hasil tangkapan laut, kain, piring dari keramik, gong, serta dulang yang terbuat dari tembaga, parang dan alat perladangan yang terbuat dari baja dan besi. Makanya, kebudayaan Tau Taa Wana sejak abad ke-18 sudah mengenal peralatan dari luar seperti piring keramik, dulang tembaga, gong dan parang baja. Tak heran jika di beberapa lokasi perkuburan leluhur terdapat tumpukan piring keramik dan dulang tembaga, seperti di Gua Sarambe, suatu tempat di dekat Mpoa, Kabupaten Tojo Una-Una. Ataupun gong sebagai pelengkap musik tradisional seperti Geso-geso dan Telali.

Namun satu hal yang menarik dari pertukaran komoditas itu adalah sifatnya barter atau non-tunai. Karena Tau Taa Wana menolak komoditas hasil produksinya dinilai dengan mata uang. Konsep pertukaran komoditas zaman itu bagi Tau Taa Wana ialah “menukarkan apa yang dibutuhkan”, serta “memproduksi sesuai permintaan”. Selain itu, satu hal pantangan dalam segala transaksi dan pertukaran komoditas, “bahan pangan tidak dipertukarkan atau diperdagangkan, terutama padi”. Karena makanan tidak untuk dipertukarkan, apapun alasannya sebab ia kebutuhan pokok komunitas. Kecuali disumbangkan kepada sesama manusia yang mengalami kelaparan atau kekurangan pangan.

Prinsip “menukarkan apa yang dibutuhkan” dan “memproduksi sesuai permintaan” adalah strategi ekonomi politik yang paling jitu ketika itu, sehingga menekan laju produksi supaya tidak melampaui kapasitas. Sekaligus strategi kedaulatan komunitas mengatur sumber daya lokalnya dari tekanan pihak luar. Sepanjang priode itu, komunitas mampu memposisikan daya tawarnya dari tekanan dan desakan pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi yang berada di wilayah pesisir. Meskipun bertubi-tubi tekanan datang dari pihak luar, termasuk menerima stereotip sebagai “orang hutan”, “orang gunung”, sehingga memunculkan kata “Orang Wana”. Proses itu terus menerus dipertahankan hingga pasca kemerdekaan Indonesia.

Beberapa kasus tindakan represif berkedok penertiban sipil pernah dilakukan oleh pihak kontroler Belanda yang ada di Poso, menuju pedalaman mencari Tau Taa Wana. Namun begitu pasukan kontroler Belanda memasuki hutan lebat di pedalaman Tojo Una-Una dan Morowali, perlawanan komunitas sudah menanti. Salah satu bentuk perlawanan Tau Taa Wana yang sangat efektif menyikapi tekanan marsose Belanda zaman itu adalah menghindar lebih ke dalam, di tengah kelebatan hutan dan keterjalan dataran tinggi. Justru model perlawanan inilah yang menyebabkan marsose Belanda dan serdadu Jepang patah arang, dan tidak melanjutkan misi ke pedalaman, karena tantangan alam yang ekstrim. Kedok penertiban sipil dijadikan selubung oleh kolonial Belanda dan Jepang untuk sampai ke pusat-pusat produksi komunitas.

Sepanjang misi pencarian ke pedalam tersebut, baik pihak Belanda maupun pihak Jepang memanfaatkan momentum. Sembari mencari sebaran permukiman Tau Taa Wana, mereka juga melakukan penelitian terkait kekayaan kandungan mineral di bawah tanah. Tak heran jika di beberapa tempat di pedalaman hutan hujan tropis di wilayah timur Sulawesi Tengah (yang saat ini meliputi Poso, Tojo Una-Una, Morowali, Morowali Utara, Banggai), kita menjumpai sejumlah patok penanda kandungan mineral buatan Belanda maupun Jepang. Ternyata, kekayaan kandungan mineral di wilayah timur Sulawesi Tengah temlat di mana sebaran Tau Taa Wana berada sudah diincar oleh kolonial dan juga kerajaan-kerajaan nusantara sejak era pertukaran komoditas mulai berlangsung di abad ke-18.

Jika posisi tawar Tau Taa Wana di masa lampau terhadap dinamika pasar global begitu diperhitungkan, bagaimana dengan hari ini. Salah satu kunci tingginya posisi tawar ketika itu karena bagusnya kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas rotan, damar, gaharu, kayu manis dan madu alam yang baik, bersumber dari tata produksi yang baik pula. Sedangkan tata produksi yang baik bersumber dari keunggulan pengetahuan tentang tata pengaturan lahan dan sumber daya. Tata pengaturan lahan dan sumber daya yang baik bersandar pada kedaulatan komunitas yang mengaturnya.

Pengaturan melalui konsep tata guna lahan mulai dari kawasan perlindungan hingga kawasan budidaya, menjadikan Tau Taa Wana sebagai komunitas teladan dalam pengelolaan hutan lestari dan berkeadilan. Bahkan dinamika pasar global pada zaman lampau mengakui keunggulan tersebut, dengan tingkat ketergantungan pasar global terhadap komoditas hasil produksi Tau Taa Wana.

Berjuang Bersama Gerakan Masyarakat Hukum Adat

Bagaimana dengan situasi hari ini? Perjuangan terhadap kedaulatan “tana ntau tua” sebelumnya digerakkan dengan sikap dan aksi nyata dalam menjaga dan merawat tanah leluhur. Melalui konsistensi pengaturan “tana ntau tua” dengan perencanaan tata guna lahan yang baik. Namun, timbul kesadaran bahwa upaya tersebut tidak cukup dalam rangka melindungi kedaulatan “tana ntau tua” sebagai tanah leluhur. Mereka sadar bahwa berada dalam tampuk pemerintahan Republik Indonesia memerlukan bentuk dialektika baru. Karena itu, diperlukan taktik mauupun strategi baru.

Salah satu langkah strategis ialah dengan menjalin aliansi dengan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan nasib komunitas-komunitas marjinal. Pilihan lainnya ialah membangun relasi dengan gerakan masyarakat adat. Meskipun secara eksplisit, Tau Taa Wana tidak pernah menyebut diri mereka sebagai masyarakat adat (Grumblies, 2003). Namun perlahan dan pasti, pihak luar secara diam-diam dan malu-malu mulai mengakui mereka sebagai masyarakat adat, khususnya di level pemerintah. Walaupun kenyataannya, perjuangan untuk memperoleh pengakuan legal sebagai masyarakat adat di wilayah mereka menemui jalan terjal. Tak terkecuali dengan upaya mendorong Peraturan Daerah (Perda) di level provinsi pada tahun 2005, yang juga mengalami penolakan di DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.

Bersama dengan Yayasan Merah Putih (YMP), strategi mendorong pengakuan legal dipindahkan ke level kabupaten. Dengan sasaran pemerintahan di level Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali (sebelum dimekarkan menjadi Morowali Utara) dan Banggai. Alhasil, Pemkab Morowali bersama DPRD setempat mensahkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana Di Kabupaten Morowali. Di level Kabupaten Tojo Una-Una, proses pengakuan legal masih berliku. Hingga artikel ini dituliskan, Ranpeda Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana Di Kabupaten Tojo Una-Una masih menunggu sidang paripurna di DPRD setempat, setelah lebih dari 10 tahun inisiatif pengakuan legal tersebut bermula dari Tojo Una-Una.

Akan tetapi, sejujurnya, Tau Taa Wana tidak peduli label sebagai masyarakat adat. Karena bagi mereka, ada atau tidaknya penyebutan sebagai masyarakat adat bukanlah yang terdepan. Melainkan urgensi pengakuan dan perlindungan terhadap kedaulatan wilayah tradisional dan wilayah kelolanya. Sebab menjaga, merawat dan memelihara “tana ntau tua” sebagai tanah leluhur, tanah air, tanah tumpah darah, ibu pertiwi, merupakan rasa syukur terhadap anugerah Yang Maha Kuasa (Pue). Seperti konsepsi “Obalihara” (merawat bumi, pelihara nusantara) yang lazim dalam semangat komunitas-komunitas lokal di nusantara.

Konsistensi menjaga, merawat dan memelihara “tana ntau tua” dengan pengetahuan dan keterampilan lokal sebagai landasan filosofisnya, diperhadapkan pada perubahan zaman serta dinamika situasi di sekitranya. Menuntut kemampuan komunitas untuk mahir berdialektika dengan dinamika perubahan yang berlangsung. Mereka tak perlu anti perubahan, tapi menemukan formula yang tepat dengan fondasi yang sudah dimiliki dalam bentuk jati diri sebagai Tau Taa Wana.

Tantangan besar seperti belum berubahnya kebijakan konservasi, namun mulai bergesernya paradigma kehutanan menuju rezim perhutanan sosial, serta rezim tanah objek reforma agraria, perlu mereka sikapi dengan cermat. Sehingga tidak termarjinalkan kembali dalam arus perubahan kebijakan pembangunan berbasis lahan. Upaya kongkrit mereka telah coba, dengan dimotori oleh komunitas Wana Posangke mengusulkan skema hutan adat (HA) seluas 22.500 Ha kepada Menteri LHK. Meskipun hingga kini pengakuan hutan adat tersebut belum keluar, karena sikap ambigu dan dilematis di pihak Kementrian LHK menyikapi pengusulan itu.
Kini justru pemerintah dalam hal ini Kementrian KLHK yang tidak siap menyikapi dinamika perubahan kebijakan, pasca keluarnya Putusan MK No.35 tentang Hutan Adat. Bagaimana dengan dinamika-dinamika selanjutnya?

  * Manajer Program YMP dan Dewan Nasional Walhi 2016-2020


Daftar Pustaka:
1. Amran Tambaru (2015). Antara Pemenuhan Kebutuhan Hidup Dan Perlindungan Alam, SILO, YMP. Palu
2. Anna Teresa-Grumblies (2013). Being Wana Becoming An Indigenous People, Experimenting With Indigeneity In Indonesia, Adat And Indigeneity In Indonesia, Culture And Entitlements Between Heteronomy And Self Ascription, Brigitta Hauser-Schaublin (ed), University of Gottingen.
3.Azmi Sirajuddin (2014). Tau Taa Wana Dalam Derap Perubahan Mondial, www.kompasiana.com/azmibone/tau-taa-wana-dalam-derap-perubahan-mondial
4. Jane Monnig Atkinson (1983). Religions in Dialogue, The Construction of An Indonesian Minority Religion, Journal of The American Ethnological Society, onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1525.
5. Jane Monnig Atkinson (1989). The Art and Politics of Wana Shamanship, University of California Press. Berkley.
6. Nasution Camang (2003). Tau Taa Wana Bulang, Bergerak Untuk Berdaya. RFN – YMP. Palu
7. Ramadhanil Pitopang (2012). Ethnoecological System of Tao Taa Wana Tribe In The Morowali Nature Reserve, Central Sulawesi, Indonesia, www. academia.edu. retrieved 2014-10-08.
8. Yayasan Merah Putih (2004). Studi Etnobotani Tau Taa Wana Bulang, YMP. Palu

Lihat Juga

Usulan Hutan Adat Diserahkan ke KLHK

TOUNA, MERCUSUAR – Masyarakat adat Tau Taa Wana Una di Kabupaten Tojo Una-una (Touna), Selasa ...

MASYARAKAT BALEAN TERIMA SK HUTAN DESA

(Jakarta, 26/10/2017),Presiden Jokowi menyerahkan SK Hutan Desa Balean kepada Ketua lembaga pengelola hutan Desa Balean, ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *