Oleh : Kiki Rizki A*
Tepat tanggal 20 mei 2016 yaitu hari di tandatanganinya MOU antara Forum Peradilan Adat, Polda dan Pemprov Sulawesi Tengah, pada saat itu pula saya berkesempatan menuju ke salah satu wilayah adat Tau Taa Wana yaitu Lipu Vananga Bulang. Lipu dalam bahasa lokal berarti kampung dan Vananga berarti muara, serta Bulang yang diambil dari nama sungai. Lipu vananga bulang secara administratif masuk dalam kabupaten Tojo Una-una.
Perjalanan saya kali ini bersama Siti Zulaikha, staf Lingkar Belajar untuk Perempuan, untuk melakukan riset terkait peradilan adat, selain itu kami juga di dampingi Nirsam pendamping Lapangan Yayasan Merah Putih dan beberapa masyarakat Tau Taa Wana yang bersamaan juga pulang ke lipu setelah berada di Ampana, ibukota Kabupaten Tojo Una-una setelah mengikuti pertemuan dengan anggota DPRD Tojo Una-Una terkait rencana pengesahan Ranperda Tau Taa Wana.
Untuk menuju ke lipu tersebut, dari Kota Ampana diperlukan waktu tempuh 6 hingga 7 jam yang dapat dilalui dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Perjalanan ke kampung tersebut dapat di kategorikan sebagai adventure karena selain harus melewati 2 sungai besar yaitu Balingara dan Bulang, juga beberapa anak sungai kecil. Selain itu, jalan yang becek akibat musim penghujan ditambah lagi beberapa jembatan yang tidak memadai untuk dilewati. Namun, dibalik kondisi tersebut pemandangan alam yang menakjubkan, hutan, pegunungan, kebun dan ladang masyarakat yang tersaji dalam perkampungan tradisional seakan membayar semua kelelahan.
Sesungguhnya, ini perjalanan romantisme saya pasca 9 tahun silam, kali pertama saya ke Lipu Vananga Bulang. Hanya saja saya cukup tercengang dengan keadaan kampung yang rasanya seperti berubah mungkin karena sudah ada akses jalan, dulu jika mau menuju lipu ini harus berjalan kaki dari daerah transmingrasi Desa Bulan Jaya. Yang tak berubah beberapa rumah masyarakat masih seperti dulu, rumah panggung yang ditopang kayu bulat, beratap daun rotan, dinding dari papan yang setengah terbuka serta tak ada daun pintu. Masyarakat adat Tau Taa Wana di Lipu Vananga Bulang ini masih mempertahankan rumah model seperti itu, dan yang patut diapresiasi tak ada pencurian di rumah – rumah mereka.
Sesampai di lipu, rumah yang kami singgahi pertama adalah rumah Pau alias Apa Anca, kata Apa adalah sebutan untuk laki – laki yang memiliki anak bernama Anca, Apa anca adalah tau tua Lipu. Tau tua lipu artinya kepala kampung, yang berfungsi sebagai pemimpin di lipu. Di Rumah yang berlantaikan bambu tersebut terdiri dari 2 ruang yang bersekat yaitu ruang depan yang terdiri dari ruang utama yang tak ada sekat dengan ruang tidur yang berada di sebelah kiri dan kanan. Ruang belakang yang di gunakan untuk dapur dan tempat penyimpanan barang lainnya.
Suasana rumah kampung yang terasa hangat, menyambut kedatangan kami yang sebentar lagi memasuki malam hari. Sesaat kami berbincang santai sambil menanyakan kabar, tak lama berselang suguhan makan makan malam yang nikmat telah disiapkan. Alunan musik geso – geso yang dimainkan bue (nenek), turut menemani makan malam kami. Sajian hidangan nasi hasil dari padi ladang bersama sayur sebagai pelengkapnya. Orang wana menyebut padi dengan sebutan pae, pae ditanam secara alami, tanpa menggunakan bahan kimia. Saat kami berkunjung di lipu sedang musim panen, aktivitas panen mereka sebut mamota.
Selama empat hari hidup bersama komunitas tau taa wana, memberikan banyak pengetahuan dan nilai kehidupan yang patut di teladani dari orang taa, termasuk soal kesetaraan gender baik dalam produksi maupun repoduksi. Misalnya kegiatan mamota hingga menumbuk padi dapat dilakukan baik perempuan maupun laki – laki bahkan secara bersama, untuk urusan reproduksi pun demikian, Apa dapat mengurus anak ketika Indo sedang sibuk di dapur. Kelompok Perempuan dalam masyarakat adat tau taa wana di beri posisi setara dengan kelompok laki – laki. Bahkan perempuan memiliki posisi yang harus di hormati, karena dalam filosofi pae (padi) sebagai bahan makanan pokok mereka diyakini lahir dari penjelmaan seorang perempuan. Artinya perempuan sebagai pemberi kehidupan sehingga patut untuk di hormati.
Bertepatan dengan tujuan kami untuk meriset peradilan adat, dalam waktu tersebut kami menyaksikan dua proses sidang adat atau orang wana menyebutnya mogombo ada. Pertama mogombo ada kasus perdata terkait sengketa tanah dan yang kedua kasus pidana terkait pencemaran nama baik. Hasil sidang adat kasus perdata terkait sengketa tanah yang terjadi di komunitas akhirnya menemukan titik temu dengan mengalahnya salah satu pihak, setelah mendengarkan pandangan – pandangan tau tua ada terkait peraturan yang berlaku dikomunitas terkait lahan. Hal ini juga karena orang wana sendiri memiliki sikap toleransi yang sangat tinggi, sehingga semua dapat diselesaikan melalui mogombo ada.
Lain pula hasil mogombo ada terkait kasus pidana, tau tua ada memutuskan terlapor bersalah dan di kenakan denda atau yang mereka sebut Givu. Putusan sidang tersebut atas tindakan fitnah dan pencemaran nama baik yang dalam bahasa lokal mereka sebut dengan sala wiwi. Givu yang diberikan berupa piring batu yang bernilai 80 artinya 1 piring bernilai 10. Olehnya, yang bersalah wajib membayar piring sebanyak 8 buah terdiri atas 4 buah piring atas fitnah dan 4 buah piring atas pencemaran nama baik.
Dalam proses sidang adat orang wana tokoh – tokoh adat yang terlibat diantaranya Tau Tua Ada (Kepala adat) yang berperan sebagai hakim dan memiliki fungsi untuk Memimpin dan memutus sidang, selain Tau Tua Ada dalam proses sidang adat juga melibatkan Tau Tua Lipu (Kepala Kampung) yang biasanya membuka proses mogombo ada dan memiliki peran memberikan pertimbangan kepada Tau Tua Ada dalam memutuskan kasus, Tau Tua Ada yang lain juga bisa berperan sebagai penuntut maupun pembela. Dalam struktur peradilan adat Tau Taa Wana juga mengenal istilah Tolea yang berfungsi sebagai penghubung atau orang yang mengantar informasi baik untuk memanggil pelapor ataupun terdakwa sebelum mogombo ada di laksanakan.
Jabatan Tau Tua Ada tidak mengenal periode, mereka diberhentikan atau berhenti jika usia lanjut, sakit dan meninggal. Laki-laki dan perempuan dapat menjadi Tau Tua Ada yang dipilih oleh masyarakat dengan kriteria dianggap mampu, disumpah dan menguasai hukum – hukum adat yang dapat dipelajari melalui Tau Tua Ada sebelumnya, belajar tentang peradilan adat harus melewati ritual yang mereka sebut harus menggunakan kapongo yaitu ritual dengan menggunakan kapur dan pinang.
Pengamatan saya, sidang adat orang wana berlangsung khidmat dan kekeluargaan setiap pelapor dan terlapor tetap diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk permasalahan sebelum Tau Tua Ada memberikan hasil putusan. Dalam pelaksanaan mogombo ada, Tau Tua Ada tak memakai baju seragam mereka menggunakan pakaian sehari-hari atau memakai baju yang sedang di pakainya saat itu. Bahkan ketika Tau Tua Ada pulang dari navu (kebun) dan Tau Boros (orang banyak) sudah terkumpul, maka mogombo ada dapat dimulai, bagi yang di putus bersalah harus membayar givu (denda). Setelah proses sidang berakhir semua pihak bersalam – salaman yang berarti semua berdamai dan menghormati putusan mogombo ada.
Orang wana menganut kepercayaaan leluhur atau biasa di sebut halaik, tapi kini sebagian orang wana telah memeluk agama Islam dan Kristen. Walaupun demikian, orang wana tetap menjalankan mogombo ada. Dodi, Tau Tua Lipu Vananga Bulang menyatakan, seluruh masyarakat baik orang wana maupun pendatang yang tinggal di Lipu Vananga Bulang tetap harus mematuhi hukum dan peraturan adat yang berlaku di tanah adat wana tersebut. Karena di yakini ketika hasil putusan mogombo ada tidak di patuhi maka akan terjadi musibah, yang mereka sebut dengan katula.
*Saat ini bekerja sebagai manager informasi dan kampanye Yayasan Merah Putih