Edy Wicaksono*
Perjalanan menuju perkampungan masyarakat adat Tau Taa Wana Salaki, meski melelahkan namun sangat mengasyikan terutama bagi yang suka menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat adat. Untuk menuju kesana kita harus terlebih dahulu mencapai Dataran Bulang, sebuah dataran tinggi di bagian timur Sulawesi yang menjadi wilayah adat Orang Wana Bulang.
Dataran Bulang secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tojo Una-una, wilayah ini telah dijangkau fasilitas jalan raya yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Jalannya berkelok-kelok, kadang menanjak tajam kadang menurun dengan sebagian besar jalan raya masih berupa tanah pengerasan sebagian kecilnya sudah dilapisi aspal, sesekali kita bahkan harus melintasi aliran sungai kecil.
Sepanjang perjalanan ini, kita dapat menikmati keindahan alam yang masih asri, di kiri kanan jalan hutan-hutan sekunder dan kebun-kebun palawija milik masyarakat memberikan keteduhan bagi pelintas jalan tersebut. Perkampungan kecil milik orang Wana dan warga transmigrasi yang telah berbaur lama dengan orang lokal menambah keindahan perjalanan.
Kampung terakhir yang dapat dijangkau kendaraan roda empat adalah Desa Wanasari yang lebih dikenal dengan nama Tahap 3, dari sinilah perjalanan sesungguhnya untuk menuju wilayah adat Orang Wana Salaki di mulai. Ridang anggota komunitas Wana Salaki bersama 3 kawannya telah menungu dan akan menemani kami dalam perjalanan.
Saat saya tiba disana 6 Mei silam musim penghujan telah tiba. Dari titik ini saya bersama 3 staf lapangan Yayasan Merah Putih lainnya Agus, Murni dan Faiza memulai perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri Sungai Meya atau dalam bahasa lokal disebut Ue Meya.
Dalam kondisi musim kemarau dimana debit Sungai Meya mengecil, perjalanan menuju wilayah adat Wana Salaki biasanya dapat ditempuh selama 6-7 jam berjalan kaki, namun pada saat musim penghujan seperti saat kami tiba, perjalanan membutuhkan waktu lebih lama. Bahkan, karena terhadang banjir maka kami harus menginap semalam di ladang atau disebut Navu yang ada di tepi sungai, kami baru dapat melanjutkan perjalanan esok harinya.
Wilayah adat Wana Salaki secara administrasi terletak di 2 Kabupaten di Sulawesi Tengah yakni, Kabupaten Tojo Una-Una dan Morowali Utara. Nama Salaki ini sendiri diambil dari nama sungai yang ada di wilayah adat tersebut. Seperti halnya komunitas Tau Taa Wana lainnya Orang Wana Salaki mendiami satuan mukim yang mereka sebut lipu, sebuah lipu biasanya dihuni oleh komunitas dari kelompok keturunan yang sama dengan jumlah kepala keluarga berkisar antara 10 sampai 30, kurang dari itu biasanya mereka sebut opot.
Di wilayah adat Wana Salaki, terdapat beberapa lipu diantaranya Lipu Kablenga, Lintio, Vatubora dan Rano. Lipu terakhir inilah yang menjadi tujuan perjalanan kami kali ini, Rano artinya danau, dinamakan demikian karena terdapat danau kecil ditengah permukiman ini. Kampung tradisional ini dihuni 26 kepala keluarga dengan 216 jiwa.
Saat kami tiba, padi ladang mereka telah menguning siap di panen, nampaknya musim tanam kali ini sangat berhasil. Ladang-ladang ini tak jauh dari lokasi tempat tinggal, beberapa diantaranya bahkan di pinggiran lipu. Suasana kampung tradisional terasa sangat kental disini, rumah-rumah panggung sederhana beratapkan daun rotan dengan dinding dan lantai dari kulit pohon ditopang kayu-kayu bulat sebesar lengan orang dewasa. Tak ada balok atau papan hasil kayu olahan gergaji mesin pada struktur rumah dan bangunan disini, tak ada paku semuanya diikat dengan tali rotan.
Agus staf lapangan YMP, dalam kurun waktu 3 bulan terakhir secara intensif mendiskusikan topik pengakuan wilayah adat dan hutan adat dengan Orang Wana Salaki. Pengakuan wilayah adat menjadi penting bagi komunitas ini, Pemerintah Kabupaten Morowali yang kemudian melahirkan daerah otonomi baru yakni Kabupaten Morowali Utara dimana sebagian besar wilayah adat mereka berada, telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Wana.
Perda inilah yang menjadi dasar dari harapan komunitas untuk mendorong pengakuan wilayah adat mereka, apalagi Perda tersebut mengamanatkan kepada pemerintah setempat dan komunitas untuk menetapkan batas-batas wilayah adatnya. Kedatangan kami kesini selain untuk mendiskusikan Perda tersebut juga terkait dengan pengakuan hutan adat dalam kebijakan nasional saat ini.
Selama 3 hari, mulai tanggal 7 hingga 9 Mei bertempat di bangunan yang mereka namakan Banua Bae kami berdiskusi dengan santai namun serius tentang berbagai hal mengenai wilayah adat, hutan adat dan permasalahan yang tengah mereka hadapi. Banua Bae ini serupa dengan rumah tradisional mereka, yang berbeda hanyalah ukurannya yang sedikit lebih besar dan tanpa dinding sekat, bangunan ini selain diperuntukan sebagai tempat pertemuan juga difungsikan sebagai ruang belajar untuk Skola lipu, sebuah model pendidikan alternatif bagi komunitas adat yang digagas oleh YMP bersama Tau Taa Wana.
Di banua bae inilah kami berkumpul bersama kurang lebih 30 orang perwakilan komunitas dari berbagai lipu di wilayah hukum adat ini, mereka telah berada disini sehari sebelumnya. Sebulan yang lalu Agus telah menyampaikan kepada mereka tentang pertemuan ini. Dengan penuh keramahan dan antusias mereka menyambut kami untuk segeram memulai diskusi ini.
Diskusi dimulai dengan mendengarkan kisah mereka tentang aktifitas penambangan emas yang merambah wilayah mereka sejak 3 tahun silam. Booming penambangan emas rakyat yang terjadi di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah 5 tahun terakhir ternyata juga hingga jauh ke dalam wilayah adat ini. Ratusan penambang emas dari Palu, Manado, Gorontalo dan Makassar masuk menyerbu wilayah mereka, hidup mereka yang tadinya tenang mulai terusik, sungai yang tadinya jernih berubah keruh dan kotor.
Menurut Apa Hasan salah satu tokoh setempat, meski pertambangan tersebut menerobos wilayah adat dan merugikan mereka, Orang Wana Salaki tak bisa berbuat apa-apa selain berharap kepada pemerintah. Selain jumlah penambang yang sangat besar, kehadiran para pemodal dan aparat yang menjadi beking membuat mereka makin tak berdaya. Beruntung, kini para penambang berangsur-angsur pergi, saat ini jumlah penambang yang bertahan tinggal sedikit.
Selanjutnya kami lebih banyak mendengarkan bagaimana kehidupan mereka dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya alam. Orang Wana Salaki Sebagaimana komunitas Tau atau Orang Taa Wana pada umumnya memiliki tradisi kebudayaan yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan serta lahan. Hal ini tak lain karena mereka secara faktual dan turun temurun telah menghuni sekaligus memiliki hutan yang membentang di bagian timur laut Morowali Utara dan sebelah selatan Tojo Una-Una ini.
Orang Wana Salaki mendiami wilayah adat seluas 23.800 hektar yang nyaris semuanya merupakan kawasan hutan dengan fungsi lindung. Dari luasan tersebut sekitar 23.480 hektar mereka fungsikan sebagai hutan adat, selebihnya merupakan ladang tanaman padi dan permukiman mereka. Hutan secara turun temurun mereka kelola berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan leluhurnya.
Komunitas ini memperlakukan hutan dengan penuh rasa hormat, hutan atau yang mereka sebut Pangale dimanfaatkan seperlunya untuk kebutuhan hidup mereka, tak ada eksploitasi berlebihan disana. Kayu digunakan seperlunya untuk kebutuhan membangun rumah dengan ukuran yang sederhana, kebutuhan hidup lainnya seperti pangan dan obat-obatan juga terpenuhi dari hasil hutan.
Hasil hutan bukan kayu semisal madu, damar, rotan serta jalapari mereka ambil dan jual untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tidak bisa mereka produksi sendiri. Ridang yang tinggal di Lipu Lintio misalnya, kami bertemu dengannya ketika sedang menjual damar kepada pedagang di Desa Wanasari, hasil penjualannya ia belanjakan untuk pakaian, baterai, ikan asin dan gula. “Hasil dari menjual damar hari ini saya belanjakan untuk membeli beberapa barang, baju, ikan garam, dan gula” ujar Ridang.
Orang Wana Salaki, membagi pola pemanfaatan hutan dan lahan ke dalam beberapa fungsi peruntukan. Rimba belantara yang memiliki fungsi ekologis mereka fungsikan sebagai Pangale kapali atau hutan larangan, kawasan ini tidak boleh dimanfaatkan secara langsung bahkan anggota komunitas dilarang memasuki kawasan tersebut.
Selain itu ada pula Pangale, pangale ini semacam hutan lindung yang dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan ritual adat, fungsi ekologis dan sebagainya. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan hidup semisal kebutuhan ramuan rumah, pangan, obat-obatan dan hasil hutan bukan kayu lainnya mereka penuhi dari Pompalivu, yakni hutan untuk kebutuhan pemenuhan hidup secara langsung.
Sementara hutan sekunder bekas ladang dan permukiman yang telah kembali menghutan mereka fungsikan sebagai Yopo, yopo ini terdiri atas Yopo Mangura untuk yang berumur kurang dari sepuluh tahun dan Yopo Masia untuk yang berusia lebih dari 10 tahun. Selebihnya diperuntukan untuk kebutuhan perladangan padi atau Navu dan pemukiman atau Lipu.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai bagaimana melindungi dan menjaga wilayah adat sekaligus ruang hidup mereka ini dari kepentingan yang dapat meminggirkan keberadaan sekaligus kehidupan Orang Wana Salaki. Pengakuan dan Penetapan wilayah adat dan hutan adat menjadi strategi utama untuk melindungi wilayah adat Orang Wana Salaki. Apa Ntuko, tetua lipu di Rano berkeyakinan bila pemerintah mengakui dan menetapkan wilayah adat dan hutan adat mereka, maka kehidupan mereka yang selaras dengan alam akan terlindungi termasuk hutan yang selama ini mereka jaga dan menjadi penopang kehidupan Orang Wana Salaki.
*Penulis saat ini bekerja sebagai Manajer Program CBFM Yayasan Merah Putih dan Dewan Daerah Walhi Sulteng