SILO 50 Tahun 2013

KALAU anda membaca UU Lingkungan Hidup, lingkungan didefinisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perkehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Lingkungan fisik maupun lingkungan biologi merupakan tempat tumpuan dan sandaran hidup manusia. Manusia membutuhkan bantuan lingkungan untuk hidupnya. Bagaimana tidak, sumberdaya hutan menyediakan apa yang dibutuhkan: air, makanan, pakaian, papan, oksigen dan bahan baku lainnya.

Interaksi manusia dengan lingkungan dapat diamati lewat fenomena sosial yang dijalaninya. Komunitas dalam dan sekitar hutan memiliki pengetahuan lokal tentang ekosistem, hewan dan tumbuh-tumbuhan, terutama yang mereka manfaatkan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan, papan dan kesehatan).

Pengetahuan lokal juga disosialisasikan melalui sistim sosial yang berlaku, sehingga dapat terdokumentasi dan terpelihara dengan baik. Kehidupan komnitas yang ikatannya berdasarkan teritori, punya pemimpin dan hidup secara kekeluargaan serta adanya nilai-nilai dalam menjaga lingkungan tempat domisilinya.

Pantangan-pantangan yang berkaitan dengan usaha menjaga kelestarian lingkungan ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Pantangan-pantangan tersebut seringkali dihubungkan dengan kekuatan gaib dan disosialisasikan dalam bentuk simbol-simbol melalui upacara yang diikuti oleh semua anggota masyarakat.

Misalnya komunitas Dondo, mengenal istilah Doate yang termasuk hutan hadat yang dilindungi dan tidak dapat diolah namun kepemilikannya dimiliki secara bersama oleh masyarakat. Searah dengan itu, pada komunitas Lauje  adanya pelarangan menebang kayu-kayu di puncak gunung karena membahayakan keselamatan jiwa masyarakat.

Tidak hanya kayu/tumbuhan, masyarakat mempunyai kewajiban menjaga hewan jenis tertentu yang tergolong langka. Bersamaan dengan itu juga dibuat sangsi-sangsi yang dikaitkan pula dengan kekuatan gaib. Setiap pelanggaran terhadap pamali bukan hanya dianggap mengganggu usaha melestarikan lingkungan, tetapi juga diyakini akan menda-tangkan kutukan. Kutukan tersebut tidak hanya ditanggung oleh orang yang melanggarnya tapi bisa pula diderita oleh semua anggota masyarakat.

Pemanfaatan lahan masyarakat lokal dipandang mempunyai kemampuan untuk memenuhi fungsi ekologi hasil pengamatan menggambarkan bahwa bangunan rumah komunitas sekitar hutan luasannya kurang lebih 4 x 6 m. Olehnya asumsi-asumsi yang cenderung menuduh masyarakat adat/lokal sebagai perusak hutan mulai ditinggalkan setelah berbagai penelitian membuktikan bahwa masyarakat adat/lokal memiliki pengetahuan, dan tradisi yang mampu menjaga dan mengolah sumberdaya hutan secara lestari dan berkelanjutan. Walau begitu, kepentingan akan sumberdaya hutan oleh pihak luar sangat menganggu komunitas setempat.

Merunut teori kepentingan, ‘orang luar’ punya motivasi yang bersifat manipulatif dengan memanfaatkan nilai-nilai atau hukum yang ada, bukan hanya untuk mencari keuntungan ekonomi saja melainkan juga untuk tujuan politik. Penafsiran akan manfaat dan fungsi lingkungan telah dibawa ke arah yang selalu menguntungkan pihak penguasa atau kelompok elit.

Redaktur Pelaksana

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *