Selamat membaca.
Demi mengenyam pendidikan, Piro harus berjalan naik turun bukit untuk menuju sekolah setiap harinya. Namun, jarak antara lipu (kampung) dan sekolah begitu jauh, suatu waktu dia berhenti. Alasan berhentinya piro dari sekolah bukan hanya jarak tapi juga keterbatasan ekonomi serta usaha mempertahankan kebudayaan yang diwariskan kepadanya. Rasa terasing di tengah teman-teman sering di alami kala mata pelajaran agama tiba. Kisah Piro dari Lipu Lengkasa merupakan salah satu contoh, bagaimana kehidupan komunitas adat yang termajinalkan oleh sistem pendidikan.
Sebenarnya, Persoalan yang sering di hadapi oleh komunitas adat adalah keterisolasian atau keterpencilan lokasi mukim, penggeneralisasian sistem pendidikan, serta tekanan atau beban psikologis yang datang dari komunitas luar, menjadi faktor utama yang memarginalisasi komunitas adat dalam dunia pendidikan. Sehingga penyelenggaraan pendidikan bagi komunitas adat seharusnya berbasis pada kebutuhan dan kekhususan kondisi dan budaya yang mereka miliki.
Untuk mengakomodir kebutuhan khusus tersebut, beberapa lembaga swadaya masyarakat yang konsern mengembangkan model sekolah alternatif hadir di tengah komunitas adat. Di antaranya Skola Lipu (Sekolah Kampung), merupakan sekolah alternative yang di gagas Yayasan Merah Putih Palu bersama komunitas adat Tau Taa Wana yang hidup menyebar dalam hutan di pegunungan jazirah timur Sulawesi Tengah. Demikian dengan Sekolah Uma (Sekolah Hutan) Orang Mentawai yang di kembangkan oleh Yayasan Citra Mandiri Mentawai serta KKI Warsi dengan Sokola Rimba (Sekolah Hutan) untuk Orang Rimba di Jambi.
Pada bulan agustus tahun 2014, ketiga sekolah komunitas ini, mendeklarasikan jaringan pendidikan komunitas adat (JaPKA), untuk menjalin solidaritas komunitas adat dalam pemenuhan kebutuhan hak atas pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Sejenak kita kembali pada proses deklarasi tersebut, menyimak pesan yang mereka sampaikan.
REDAKSI