Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 522/330/Dishutda – G.ST/2012 tentang 5 (lima) Kabupaten Prioritas Lokasi Demonstration Activities (DA) REDD+ Sulawesi Tengah yang dikeluarkan pada tanggal 8 Mei 2012 oleh Gubernur Longki Djanggola, menjadi mandul dihadapan Bupati Tojo Una-Una, Damsyik Ladjalani. Hal ini dibuktikan dengan kokohnya Bupati Tojo Una-Una tersebut mempertahankan keberadaan tambang biji besi PT.Arthaindo Jaya Abadi, seluas 5000 Ha yang beroperasi di Desa Podi, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una.
Walaupun SK Bupati Nomor 188.45/Distamben/2012 dikeluarkan pada tanggal 3 April 2012 itu memberikan kewenangan lokasi pertambangan kepada pihak perusahaan, yang artinya satu bulan sebelum diterbitakannya SK Gubernur tentang lokasi DA, namun, seharusnya Damsyik Ladjalani harus menarik dan membatalkan kembali izin tersebut. Setelah mengetahui bahwa Kabupaten Tojo Una-Una telah ditetapkan sebagai salah satu lokasi percobaan penurunan emisi di sektor hutan dan lahan. Tapi, sayang sekali, SK Gubernur tersebut seakan tidak berarti di mata pemerintah kabupaten. Tidak ada gunanya Gubernur Sulawesi Tengah mengkampanyekan tekad penurunan emisi kehutanan di lima kabupaten, jika aktivitas ekstraktif atas hutan terus berlangsung seperti aktivitas tambang biji besi di Desa Podi.
SK Gubernur yang lahir dari penilaian tim verifikasi terhadap seluruh situasi kehutanan di setiap kabupaten/kota itu, telah menelan biaya yang tidak sedikit dari donasi UNDP-FAO-UNEP, melalui UNREDD Indonesia. Kami tidak tahu mengapa SK Gubernur ini mandul ketika berhadapan dengan investasi ekstraktif yang berbasis lahan di setiap kabupaten/kota di Sulteng. Apalagi, jika itu terjadi di wilayah kabupaten yang telah ditetapkan sebagai prioritas lokasi percobaan penurunan emisi di sektor kehutanan, seperti Tojo Una-Una. Kami menilai bahwa ngototnya Bupati mempertahankan tambang di Podi, sebagai bentuk arogansi pemerintah kabupaten terhadap SK Gubernur.
Sudah berkali-kali masyarakat Desa Podi melakukan aksi penolakan terhadap kehadiran perusahaan tambang tersebut. Sepanjang tahun 2013 ini, setidaknya masyarakat dan elemen pemerhati lingkungan hidup di Tojo Una-Una telah melakukan aksi sebanyak 3 kali. Meminta pemerintah kabupaten menarik izin tersebut. Sudah begitu banyak alasan yang disampaikan masyarakat untuk menolak pertambangan di Podi. Dari sisi hukum, perusahaan tidak memiliki izin usaha pertambangan, baru sebatas izin lokasi melalui SK Bupati. Dari sisi kebencanaan, Desa Podi dan sekitarnya adalah daerah rawan bencana daerah dan nasional (banjir material batu dan pasir setiap tahun), berdasarkan RTRW Nasional dan RTRW Provinsi.
Dari sisi sosialnya, masyarakat tidak menginginkan adanya aktivitas tambang di wilayah mereka, karena rentan bencana alam. Bahkan, dalam satu bulan terakhir, Kepolisian Resor Tojo Una-Una dan Polda Sulteng telah memasang Police Line di jalan koridor menuju lokasi tambang. Karena dipandang belum memiliki izin yang layak. Tapi, semua fakta-fakta itu, termasuk pentingnya posisi Tojo Una-Una dalam berkontribusi terhadap upaya penurunan emisi di sektor kehutanan di Sulteng, justru tidak diindahkan sama sekali oleh Bupati Tojo Una-Una. Ini sepertinya Bupati ingin melawan kebijakan Gubernur.
Bahkan, hasil pemantauan kami di lapangan, hingga kini pihak perusahaan masih sering kali melakukan aktivitas penggalian dan pengangkutan material, meskipun areal itu sudah di Police Line. Ini juga bentuk pembangkangan hukum terhadap Kepolisian oleh pihak perusahaan. Perusahaan PT Arthaindo Jaya Abadi ditengarai dikendalikan oleh 2 pengusaha baja asal India, Pankaj Shah dan Hemanshu Mehta, melalui holding company Earthstone Resources. Kedua pengusaha baja asal India tersebut berencana mengembangkan sayap bisnisnya di Indonesia dalam bidang industri baja. Karena itu, perusahaan mereka giat mencari sumber-sumber logam, seperti nikel, besi, timah dan mangan. Termasuk, mencaplok Podi untuk kebutuhan bahan baku baja mereka dengan menambang besi di wilayah ini.
Terkait dengan situasi dan kondisi tersebut, Yayasan Merah Putih meminta ketegasan Gubernur Sulawesi Tengah untuk mendesak Bupati Tojo Una-Una, agar tidak sembrono memberikan izin pertambangan di kawasan hutan. Apalagi, areal tambang PT Artahindo menurut Dishut Provinsi 80% masuk dalam kawasan hutan. Karena hutan tersisa di wilayah Tojo Una-Una mesti dijaga dari pengrusakan termasuk oleh pertambangan. Bagaimanapun, Tojo Una-Una adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari skenario besar Sulteng untuk penurunan emisi global di sektor hutan dan lahan. “Kami meminta Gubernur Longki tegas terhadap para Bupati yang tidak mau berpartisipasi dalam penurunan emisi hutan dan lahan, sebab ini sudah menjadi kebijakan nasional”.