Kado Manis Akhir Tahun, Kali Pertama Pemerintah Tetapkan Hutan Adat

Masyarakat adat nusantara bisa sedikit tersenyum senang. Sejak republik ini ada—meskipun tercantum dalam UUD’45—tetapi penetapan hutan adat belum pernah terjadi. Beberapa hari sebelum 2016 berlalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menetapkan delapan hutan adat (tabel) dan mengeluarkan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar dari konsesi PT Toba Pulp Lestari. Ia jadi awal mula wujud pelaksanaan putusan MK 35/2012 soal hutan adat bukan hutan negara. Kado kecil nan indah di akhir tahun.

Dalam rapat teknis soal sosialisasi penetapan hutan adat di Jakarta, Rabu (28//12/16), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyampaikan, proses penetapan hutan adat sangat dinamis dan spesifik termasuk ada pengurangan hutan kelola pemegang konsesi di Sumatera Utara.

Dalam pertemuan itu, Siti merangkum beberapa hal, antara lain, pertama, rapat membahas justifikasi penetapan hutan adat dengan segala latar belakang, penegasan sembilan entitas masyarakat adat dan bagaimana masyarakat hukum adat kedepan. “Ini merupakan langkah berani yang dilakukan negara dalam hal ini KLHK,” katanya.

Kedua, pedoman yang ada baik UU untuk sistem administrasi dan hak-hak masyarakat adat masih dapat digunakan, dan tetap pendampingan hak komunal masyarakat adat.

Ketiga, koherensi tiap regulasi dari berbagai instrumen mengenai masyarakat hukum adat, salah satu program nasional pengurangan emisi karbon di Indonesia. Instrumen KPH, katanya, juga jalur cukup strategis dapat digunakan daerah dalam pengelolaan hutan adat.

Keempat, peresmian pengakuan hutan adat sangat penting bahkan merupakan program paling menjadi perhatian Presiden.

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengapresiasi penetapan hutan adat sebagai peristiwa bersejarah. “Ini untuk pertama kali sejak 71 tahun hak konstitusi masyarakat adat dicantumkan dalam UUD 1945 dan 17 tahun sejak hutan adat disebutkan dalam UU Tahun 1999,” katanya di Jakarta, Rabu (28/12/16).

Meskipun begitu, dia mengkritik kelambatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memproses pengajuan penetapan hutan adat. Abdon menilai, KLHK terlalu kaku dalam menggunakan instrumen hukum yang tersedia dan hanya lewat pengakuan dengan peraturan daerah dulu.

Saat ini, katanya, ada empat jalur tempuh pengakuan masyarakat adat, pertama, Perda berdasarkan Pasal 67 UU Kehutanan, kedua, SK Bupati/Walikota berdasarkan Permendagri No. 52/2014. Ketiga, sertifikat tanah komunal masyarakat adat melalui Permen Agraria dan Tata Ruang No 10/2016, dan keempat, penetapan desa adat berdasarkan UU Desa.

“Saya desak KLHK agar punya terobosan memanfaatkan empat jalur tempuh itu, bukan hanya jalur tempuh pertama,” katanya.

Abdon menilai, penetapan hutan adat ini sebagai kado kecil akhir tahun bagi masyarakat adat. “Kado ini tentu saja menyalakan lagi harapan yang sempat redup kepada Jokowi (Presiden-red).”

AMAN berharap, awal tahun depan Keputusan Presiden soal pembentukan Satgas Masyarakat Adat keluar. “Ini untuk mengawal enam komitmen Nawcita Jokowi-JK yang masih jauh dari realisasi,” katanya.

Kegembiraan juga terucap dari Margaretha Setting Beraan, BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur. Dia mengacungi jempol Siti Nurbaya. “Ini peristiwa langka. Kerja keras jangka panjang dari orang-orang yang mendorong terbitnya SK penetapan ini,” katanya.

Dia berharap, penetapan di hari-hari akhir 2016 ini menjadi awal penerbitan SK hutan adat-hutan adat yang lain.”Masih banyak hutan adat yang terancam pengelolaan dan keberadaan karena belum mendapatkan pengakuan,” katanya.

Dengan penerbitan SK penetapan ini, kata Setting, menjadi langkah baik dalam kerja penting pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.

Dia mendesak, pemerintah daerah segera bergerak membuat perda-perda adat untuk mendukung perlindungan dan penetapan pengelolaan hutan adat.

Selain itu, dia mendorong pembahasan Rancangan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA) menjadi UU hingga menguatkan payung hukum dan mempercepat gerak daerah mengakui dan melindungi hutan adat.

Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara mengatakan, dari berbagai perjalanan, menyimpulkan bahwa proses pengakuan hak-hak masyarakat adat itu terlambat bukan karena tak ada produk hukum, tetapi soal kepentingan politik-ekonomi yang berbeda. “Ini yang menghambat pengakuan hingga sulit dipenuhi negara lewat pemda,” ujar dia.

Bukan itu saja, sebagian pemda ada yang masih bingung dasar pertimbangan dalam membuat perda. Padahal, katanya, kalau melihat UU Kehutanan dan beberapa UU sektoral lain, jelas sekali mandat itu.

“Saya kira kedepan, KLHK harus proaktif memberikan bimbingan kepada pemda dalam menangani hak-hak masyarakat adat, terutama terkait hutan adat.”

Di Malut, pemetaan beberapa wilayah adat telah berjalan tetapi belum ada Perda PPMHA. “ Saya kira skema perhutanan sosial harus memberi ruang juga kepada masyarakat adat di Malut untuk memperoleh hutan adat mereka,” ucap Munadi.

Langkah ke depan?

Andiko Sutan Mancahyo, dari Malacca Research Center—pernah menjadi Direktur Eksekutif HuMA—organisasi masyarakat sipil yang mengajukan pengusulan hutan adat ke pemerintah mengatakan, penetapan hutan adat ini langkah awal yang bagus.

“Apresiasi untuk penetapan hari ini. Ini buah perjuangan sejak lama, di mana saya melibatkan diri meletakkan dasar-dasarnya,” kata Andiko.

Meskipun begitu, katanya, pemerintah tak boleh berhenti dengan penetapan di areal clear and clean atau wilayah yang hanya bermasalah dengan kawasan hutan negara saja. Jadi, katanya, perlu ada contoh penetapan hutan adat di areal hutan berizin. “Tentu melaui mekanisme resolusi konflik dulu,” ujar dia.

Pandangan tak jauh beda dari Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Dia mengatakan, penetapan delapan hutan adat dan pencadangan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta ini merupakan momentum penting bagi pelaksanaan putusan MK-35. Perjuangan ini, katanya, dengan proses sangat panjang baik secara administrasi, kebijakan sampai politik.

Pengakuan masyarakat adat lewat perda ini, katanya, diawali dari kerja-kerja di daerah baik pemerintah maupun komunitas disamping menyiapkan data spasial baik peta wilayah adat dan peta hutan adat.

Total luas hutan adat yang mendapatkan penetapan ini 12.759, 67 hektar dari 3,6 juta hektar peta indikatif hutan adat yang disampaikan BRWA kepada KLHK. “Ini persentase angka yang kecil, masih jauh dari harapan, namun patut diapresiasi keputusan Menteri LHK ini,” katanya.

Sebaiknya, kata Kaswita, masyarakat segera menyiapkan langkah-langkah pemenuhan syarat penetapan hutan adat. “Ke depan, perlu dibangun proses lebih mudah melalui perubahan-perubahan kebijakan.”

Kedelapan wilayah adat yang memperoleh penetapan hutan adat ini, sudah diusulkan sejak 2015 oleh berbagai organisasi masyarakat sipil pendamping. Kesemua wilayah itu, telah memiliki peraturan daerah soal pengakuan masyarakat adat di daerah masing-masing.

sumber : mongabay.co.id

SK Menteri LHK soal Penetapan Pencantuman Hutan Adat:
1. SK.6737/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang

2.SK.6738/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Bukit Tinggai

3.SK.6739/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Tigo Luhah Permenti

4.SK.6740/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Tigo Luhah Kementan

5.SK.6741/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Marga Serampas

6.SK.6742/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Amatoa Kajang

7.SK.6743/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Wana Posangke

8.SK.6744/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan pencantuman Hutan Adat Kasepuhan Karang

SK penetapan hutan adat:

1.SK.6745/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan hutan adat Marga Serampas

2.SK.6746/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan hutan adat Amatoa Kajang

3.SK.6747/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan hutan adat Wana Posangke

4.SK.6748/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan hutan adat Kasepuhan Karang

Sumber: KLHK

Lihat Juga

‘People of the forest’: Indigenous Indonesians stake claim to land

‘People of the forest’: Indigenous Indonesians stake claim to land, demikian judul laporan Peter Yeung ...

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *