Palu- Ketua kelompok kerja pemantauan proyek REDD, Azmi Sirajudin mempertanyakan komitmen Gubernur Sulawesi Tengah dalam rangka pengurangan emisi karbon sebesar tiga persen. Hal itu disampaikan pada saat meluncurkan kertas posisi bertajuk kami inginkan padiatapa dan rambu keselamatan. “Kami menilai atas dasar apa bisa menurunkan emisi karbon hingga 3 persen sementara begitu banyak faktor yang bisa mempengaruhinya seperti luasan lahan bahkan sampai pada persoalan kerusakan hutan,” ujarnya.
Azmi menyampaikan disela-sela ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga hutan, tentunya hal ini sulit tercapai belum lagi banyaknya konflik-konflik kehutanan yang menahun ditambah lagi tumpang tindih perizinan antara Izin pemanfaatan kayu (IPK), izin usaha pertambangan, (IUP), dan dengan izin usaha perkebunan besar, yang seluruhnya dikeluarkan oleh bupati yang sama pada kawasan yang sama pula.
Bahkan, kecendrungan kea rah investasi yang ekstraktif dan eksploitatif atas sumberdaya hutan. Dari sektor pertambangan sedikitnya 250 perusahaan (lokal, nasional, transnasional) memegang izin usaha pertmabngan (kuasa pertambangan/kontrak karya), yang merangsek hingga ke dalam hutan, dengan luas konsesi mencapai 2.389.580 Ha.
Sektor perkebunan juga memangsa hutan , yang hingga hari ini terdapat 12 perusahaan pemilik izin Hak Guna Usaha untuk tanaman sawit , dengan luas lahan mencapai 124.546 Ha (Walhi Sulteng,2010). Juga terdapat 16 perusahaan pemilik izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Dengan luas konsesi pembalakan mencapai 992.155 Ha (Dephut & BPS,2009).
Persoalan tata batas kawasan, juga memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebab, banyak praktek dilapangan yang mana soal klaim kawasan dan non kawasan menjadi sangat kabur. Hingga tahun 2008, luas kawasan hutan yang sudah selesai tata batas mencapai 4.031.023.58 Ha (NSDH Dishut Sulteng, 2009) atau mencakup 59,25 persen dari luas wilayah Sulawesi Tengah. Karena itu, ada selisih luas kawasan hutan sebesar 363.908,42 Ha.
“
Hasil penata batasan kawasan ini, sesungguhnya belum merepresentasikan kondisi factual luasan hutan di Sulawesi Tengah. Beragam respond an sikap yang bermunculan dari pemangku kepentingan hutan di Sulawesi Tengah, menyikapi isu perubahan iklim. Kelompok kerja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah (Pokja Pantau),sejak januari 2010 melakukan penilaiandi sejumlah wilayah,”kata Azmi.
Isu perubahan iklim di Sulawesi Tengah mulai menanjak dikalangan pemangku kepentingan kehutanan sejak tahun 2010. Apalagi bersamaan diluncurkannya satu proyek percontohan sejak bulan Oktober 2010, di Kota Palu.
Sebuah proyek pendanaan untuk proyek percontohan REDD plus level tapak dari UNREDD Programe Indonesia. Salah satu sumber pendanaan proyek tersebut berasal dari Norwegia , pasca penandatanganan kesepakatan ( Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia pada bulan Mei 2010.
“Kami menilai jika pemerintah serius menjaga hutannya tentu sejak awal sudah melakukan pembenahan terhadap hutan di Indonesia bukan nanti karena ada proyek besar dari Negara-negara donor yang berkepentingan terhadap hutan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon,”tandasnya.
Sumber : Media Alkhairaat 6 Januari 2012