ImagePerubahan iklim yang disebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca telah melahirkan berbagai skema dan mekanisme global dalam upaya mitigasi dan adaptasi, salah satunya adalah Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau disingkat REDD. Menyikapi perkembangan beragam model dan skema implementasi REDD di region Sulawesi menuntut adanya peran strategis organisasi masyarakat sipil dan organisasi masyarakat untuk melakukan intervensi melalui kegiatan advokasi dan pemantauan secara aktif dan kritis untuk memastikan implementasi REDD tidak menegasikan hak-hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Hal itu disampaikan Supardi Lasaming koordinator pelaksana lokakarya yang dilaksanakan Yayasan Merah Putih dan Rainforest Norwegia di Palu 9-11 februari 2011. “ Dalam kerangka ini diperlukan konsolidasi, mekanisme dan kerangka kerja yang sistematis dan terukur dalam upaya memantau pelaksanaan project REDD, REDD dan berbagai bentuk kebijakan, proyek atau apapun untuk mengatasi dampak atau menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim tidak boleh merugikan manusia dan lingkungan” tegasnya.
Supardi, menegaskan lokakarya ini bertujuan agar organisasi masyarakat sipil dan organisasi masyarakat di Sulawesi dapat melakukan monitoring proyek REDD diwilayah kerjanya masing-masing. Secara khusus memperkuat kemampuan dan kapasitas pengetahuan yang diperlukan peserta untuk melakukan monitoring.
Sementara itu Steni dari Huma Jakarta selaku fasilitator kegiatan menyebutkan di Sulawesi Tengah (Sulteng) kuranglebih 700 desa yang beririsan dengan kawasan hutan, artinya terdapat kuranglebih 350.000 kepala keluarga(KK) atau 1.750.000 jiwa berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sementara di Indonesia sendiri terdapat 25.000 desa yang beririsan dengan kawasan hutan, artinya setiap saat 62.500.000 jiwa potensial masuk penjara karena statusnya haknya belum jelas.
Ditambahkannya pula, Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen sukarela untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 % dari business as usual dengan upaya sendiri pada tahun 2020 dimana 13,3% di pangkas dari sektor kehutanan.
Senada dengan itu, Chris Lang dari REDD Monitor.org menekankan pentingnya independensi akses publik dalam memperoleh informasi, terutama infromasi yang objektif , Tata kelola hutan yang baik, transparansi, dan penegakan hukum sektor kehutanan.“ Dan yang terpenting REDD tidak boleh disamakan atau disederhanakan dengan perdagangan karbon” tandasnya.
Kegiatan monitoring independen REDD region Sulawesi diikuti peserta dari organisasi masyarakat sipil yang berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dan Gorontalo bahkan dari Jambi, Pontianak dan dari Jakarta. (edywicak)