Diakui atau tidak, hampir semua negara mengalami kegerahan dengan sistuasi krisis dampak perubahan iklim. Kegerahan ini pada perkembangannya telah melahirkan ragam konsesus dan negosiasi dari konfrensi ke konfrensi internasional yang membahas permasalahan tersebut. Salah satunya adalah lahirnya skema Reduction Emmission from Deforetrasion and Degradasion (REDD) sebagai suatu pendekatan strategis mengatasi krisis pada forum UNFCC di Bali.
REDD sebagai jalan mengatasi krisis dampak perubahan iklim memang patut diapresiasi manakala hutan betul-betul diletakkan sesuai fungsinya menjadi kesatuan ruang dan penyangga bumi yang diyakini dapat melepaskan atau menyimpan carbon sehingga menjadi keharusan untuk diselamatkan, akan tetapi adanya sentuhan perdagangan carbon menjadikan REDD sebagai proyek yang terkanalisasi jadi komoditi pasar oleh Negara-negara penghasil utama karbon yang hanya dengan enteng memberi kompensasi pada Negara-negara pemilik hutan untuk tetap merawat hutannya.
Selain itu, REDD sebagai jalan mengatasi krisis dampak perubahan iklim boleh dikata masih gagasan mengawang-awang disetiap Negara, karena hingga saat ini skema REDD dalam praktek uji coba dibebarapa Negara belum menemukan bentuk sejatinya, sebagai suatu pendekatan yang ideal. Seperti halnya di Indonesia, praktek uji coba REDD di beberapa daerah telah memunculkan beragam catatan-catatan debat kritis dalam hubungan isu hak dan isu tata kelola mengutib catatan Andiko; Securing Rights for REDD: Strengthening Forest Tenure for Indigenous Peoples and Forest Dependent Communities “Pada isu hak, REDD akan memberikan dampak negative kepada masyarakat adat atau lokal ketika hak-hak mereka atas hutan tetap tidak diakui dan diabaikan.
pembayaran kompensasi REDD yang berbasiskan kinerja untuk meningkatkan cadangan karbon pada kawas-an hutan yang ada masayarakat adatnya akan mendorong lahirnya pengetatan-pengetatan akses pemanfaatan hutan maupun peniadaan klaim masyarakat yang dapat berujung pada proses kriminalisasi mereka. Aktor utama REDD yang sedang diuji coba bukanlah masyarakat adat yang hak legal mereka atas kawasan hutan belum diakui. Akan ada otoritas pengelola lain yang mendapatkan hak untuk memperdagangkan karbon dalam skema REDD itu.
Pada isu tata kelola, titik kritis disini muncul dari kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola REDD. Bagaimana secara cepat aparatur pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang metodologi penghitungan karbon, kontrak bisnis internasional, mengingat perdagangan carbon memakai rezim hokum kontrak dan isu krusial lagi adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Dalam kacamata masyarakat adat, pengakuan hutan adat diluar kawasan hutan Negara adalah tuntutan yang telah lama diusung jauh sejak penguasaan hutan-hutan mereka diambil alih oleh negara. Pengambilalihan ini telah melahirkan masalah-masalah hak, social dan lingkungan yang berujung pada konflik baik laten ataupun telah manifest dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan kriminalisasi. Masalah-masalah ini terus berlangsung sampai hari ini mengingat pendekatan manajemen yang digunakan tidak menyentuh inti masalah utama yaitu masalah hak. Pada fondasi yang rapuh itu kemudian bangunan REDD coba didirikan. Mendirikan REDD secara paksa tampa dimulai dengan pengakuan-pengakuan hak masyarakat adat akan memperpanjang catatan masalah kehutanan yang ada. Apalagi, REDD mensyaratkan kejelasan status hak dan status hokum kawasan yang akan dilekati program REDD”.
Terlepas dari catatan-catatan kritis dalam tulisan Andiko diatas, REDD sebagai suatu pendekatan skema dalam hubungan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bisa jadi telah menghantarkan pada jebakan antara politik bisnis dalam mengatasi krisis dampak perubahan iklim dan atau politik bisnis dalam penggadaian perawatan hutan. Oleh komunitas aras bawah; baik yang hidup disekitar hutan dan hidup didalam hutan yang selama ini dalam prakteknya secara arif menjaga hutan masih “nuvavai” atau”tanda tanya” dari ketidakpastian hak atas wilayah kelolanya dan ketidaktahuannya tentang REDD. *** Supardi Lasaming