Pemprov Sulteng Tidak Serius Menurunkan Emisi

Rencana penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 3% di sektor kehutanan dari rata-rata nasional seperti yang dijanjikan oleh Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, mustahil diwujudkan. Karena, komitmen politik yang diungkapkan di COP 17 di Durban, Afrika Selatan, setahun yang lalu, hingga hari ini tidak dibarengi dengan konsistensi perbaikan tata kelola hutan. Tengoklah, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu, yang dilansir tahun 2011, hingga hari ini terdapat 116 izin usaha pertambangan (IUP) atau Kuasa Pertambangan (KP) yang telah dikeluarkan oleh para Bupati/Walikot, dan keseluruhannya menggunakan kawasan hutan sebagai areal konsesinya. Jika rata-rata luas konsesi yang diberikan 5000 hektar, maka total luasan dari 116 izin tersebut mencapai 580.000 hektar. Belum lagi, jika ditambah dengan kontrak karya untuk PT Inco di Morowali dan PT CPM yang kini mulai beroperasi di wilayah Toli-Toli.

Selain itu, ekspansi perkebunan besar seperti sawit juga turut mengancam kebocoran karbon di mana-mana. Menurut data BPKH Wilayah XVI Palu, hingga hari ini, terdapat 12 perizinan sawit dan 9 di antaranya masih aktif, dengan total luasan mencapai 45.000 hektar. Perkebunan sawit itu juga turut menggunakan kawasan hutan sebagai areal perkebunan.

Pertambangan dan perkebunan sawit sangat rakus lahan, dan lahan yang dipergunakan ialah kawasan hutan. Tentu saja hal ini akan merubah kondisi tutupan hutan serta daya dukung ekosistem di sekitarnya. Pembukaan kawasan hutan akan dalam jumlah yang luas untuk kepentingan non kehutanan akan memperbesar angka deforestasi dan degradasi hutan. Jika deforestasi dan degradasi meningkat, maka peningkatan emisi gas rumah kaca akan semakin tinggi, menyumbang terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang sangat ekstrim.

Inkonsistensi terhadap komitmen penurunan emisi juga akan berdampak pada hal lain. Seperti korupsi dan konflik ruang kelola. Kasus suap pihak PT HIP kepada mantan Bupati Buol Amran Batalipu sebagai contoh. Selain itu, konflik Balaesang berdarah yang menewaskan seorang warga akibat tembakan aparat Kepolisian, juga karena rencana pertambangan mengeksploitasi lahan-lahan yang produktif, seperti kawasan hutan di sekitar Danau Rano. Atau pencaplokan kawasan Cagar Alam Morowali oleh perusahaan PT.GRP untuk pertambangan nikel.

Oleh sebab itu, kami dari Yayasan Merah Putih (YMP) memandang, Pemprov dalam hal ini Gubernur Sulteng tidak serius menurunkan emisi. Jika memang Pemprov atau Gubernur serius, seharusnya ada upaya kongkrit untuk menertibkan berbagai perizinan tambang dan kelapa sawit yang terlanjur masuk dalam kawasan hutan. Jika tidak ada upaya serius, maka janji untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 3% hanya akan menjadi “tong kosong nyaring bunyinya”.
Karena itu, kami menantang Pemprov dan Gubernur membuktikan janjinya dengan langkah-langkah yang lebih kongkrit.

Lihat Juga

MASYARAKAT BALEAN TERIMA SK HUTAN DESA

(Jakarta, 26/10/2017),Presiden Jokowi menyerahkan SK Hutan Desa Balean kepada Ketua lembaga pengelola hutan Desa Balean, ...

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...