Mimpi Kedaulatan Pangan dari Desa Balean

Robert Linggad (70), sesosok lelaki yang ramah dan dengan tangan terbuka menyambut kami saat mengunjungi rumahnya di Desa Balean. Ia merupakan salah satu tokoh masyarakat Balean yang teguh menjalankan tradisi, khususnya tradisi dalam membudidayakan tanaman padi ladang. Ia adalah orang yang terus berupaya agar padi ladang tidak punah dari  kampungnya.

Pak Di
Insert Foto : Robert Lingdad ( Pak Di ) Tokoh Masyarakat Desa Balean

Bagi masyarakat Balean menanam padi ladang atau yang mereka sebut pae selain untuk memenuhi kebutuhan pangan juga  memberikan arti bagaimana mereka secara sosial, ekonomi, budaya dan religius. Kegiatan menanam padi ladang mereka jalankan berdasarkan tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur. Padi lokal menjadi inti dari sistem pertanian tradisional mereka, sebab biasanya selain menanam padi mereka juga menanam  jagung, singkong, ubi jalar , dan beberapa jenis palawija lainnya.

Desa Balean yang terletak di jazirah timur Sulawesi Tengah ini dahulunya memiliki jenis varietas padi ladang yang cukup berlimpah, beberapa jenis padi ladang yang pernah mereka miliki diantaranya pae cambaha,  pae mabula, pae labungku (padi ketan) pae sunggun (biasa) pae tomoiki (ketan), pae kali pumping (padi banyak biji), pae huhang (beras merah), pae ajahan (bulu pada  batangnya panjang), pae bosa (besar), pae habo (padi yang penanamannya selalu di tutup kerna banyak binatang yang menyukainya),  pae juhikit (padi ketan), pae talau (padi ketan) dan pae bomba (padi biasa).

Namun kini, yang tersisa dari jumlah tersebut hanya 2 jenis yang masih dibudidayakan hingga saat ini yakni  padi tidore yang terdiri dari 2 jenis yaitu tidore koyo (padi biasa) tidore pulut (padi ketan) dan padi sampala (padi biasa). Selebihnya telah punah, selain karena faktor alam juga disebabkan oleh kebijakan pembangunan pertanian selama ini yang cenderung melemahkan kemampuan masyarakat lokal dalam melestarikan benih padi lokal.

Padahal padi lokal memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah bulir yang dihasilkan lebih besar dan lebih banyak. Rasa padi lokal juga lebih enak dan yang pasti kandungan gizi padi lokal lebih baik dan sehat dari pada padi varietas unggul. Bahkan banyak penelitian yang menyatakan bila padi merah yang biasa ditanam oleh masyarakat lokal memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.

Di desa yang dihuni etnis Saluan ini mereka memiliki ritual khusus  dalam menanam padi ladang, dimulai dengan adat mompokoko (permulaan menanam) yaitu lahan yang akan di tanami dikitari sebanyak 4 kali dengan putaran yang searah,  kemudian menancapkan dahan atau ranting dari jenis pohon yang mereka namai balacai atau langsat yang dalam bahasa saluan mereka sebut tugan,  dengan harapan padi yang akan ditaman nantinya akan memiliki bulir yang besar serta berair seperti balacai, setelah menancapkan tugan lalu mengitari lagi sebanyak 3 kali dan tugan kedua ditancapkan kelahan tersebut, kemudian para lelaki membuat lubang dan perempuan yang  mengisi bibit padi kedalam lubang tersebut  yang mereka sebut mombui.

Begitu pula pada saat panen mereka lakukan dengan cara Monduhuk artinya memetik berkeliling, kemudian di rebus, jemur dan selanjutnya dimasak, bila padi tersebut masak itu menandakan bahwa padi tersebut sudah dapat dipanen,  saat menanam maupun panen semuanya dilakukan dengan bergotong royong. Hasil panen ini hanya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga, namun untuk jenis beras ketan sebagian mereka jual.

Menurut Robert atau yang biasanya di panggil Pak Di, dahulu hampir semua masyarakat Balean  menanam padi ladang, akan tetapi kemudian banyak masyarakat yang berhenti menanam padi ladang, saat ini hanya sekitar11 kepala keluarga yang tetap bertahan menanam padi ladang. “Selain karena faktor cuaca dan hama,  semenjak adanya beras raskin orang di kampung banyak yang berhenti menanam padi’ ujarnya lirih.

Situasi inilah yang melahirkan keprihatinan dirinya, ia terus berupaya mendorong dan mengajak warga desanya untuk kembali menanam padi ladang, ia berharap masyarakat di desanya dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan menanam tanaman pangan terutama padi lokal. “Masyarakat kini mulai meninggalkan pengetahuan dan kearifan budaya lokal, dahulu kami mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri dan tidak bergantung dengan makanan dari luar desa” ucap Pak Di dengan tegas.

Apa yang diharapkan Pak Di sesungguhnya adalah cita-cita bangsa ini ini untuk menciptakan kedaulatan pangan, visi pemerintah untuk membangun kedaulatan pangan seharusnya mengembalikan dan bertumpu pada petani yang menggarap lahannya sendiri agar mereka bisa menyediakan pangannya sendiri dari level rumah tangga petani sampai level bangsa, dan ini sudah dimulai Pak Robert di Desa  Balean. (edy & ani)

Lihat Juga

PERHUTANAN SOSIAL: Daulat Masyarakat atas Rimba

Menjelang konferensi tahunan terkait lahan dan kemiskinan pada 20-24 Maret 2017 sekaligus memperingati Hari Hutan ...

Reforma Agraria, Reformat Kekuatan Agraris

Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Data Badan Pusat Statistik pada ...