PERHUTANAN SOSIAL: Daulat Masyarakat atas Rimba

Menjelang konferensi tahunan terkait lahan dan kemiskinan pada 20-24 Maret 2017 sekaligus memperingati Hari Hutan Internasional pada 21 Maret 2017, Bank Dunia memberikan petunjuk pembahasan mengenai pentingnya pengelolaan masyarakat adat dan komunitas lokal atas hutan.

Memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola hutan akan membantu melindungi tutupan hutan, memberi peluang perbaikan kondisi hutan. Inilah babak baru setelah puluhan tahun penguasaan korporasi atas hutan.

Penelitian yang menjadi referensi pernyataan Bank Dunia ini di antaranya berjudul Outcomes of Land and Forest Tenure Reform Implementation in Indonesia (disusun Mani Ram Banjade dan kawan-kawan). Dalam abstrak penelitian ini disebutkan komunitas masyarakat yang secara legal mendapatkan hak kelola memiliki persepsi kuat akan jaminan kepemilikan.

“Meski beberapa komunitas tidak mengalami peningkatan kehidupan secara signifikan, mereka merasa lebih aman dengan haknya ketika menerima izin perhutanan sosial atau menjalin kontrak keija sama dengan perusahaan (pola kemitraan),” kata penelitian itu.

Baru satu dekade terakhir muncul kesadaran bahwa people itu adalah masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini terpinggirkan dan cenderung dicap ilegal ketika memanfaatkan hutan. Lalu, muncul perhutanan sosial dan distribusi lahan di Indonesia, seperti negara berkembang lain.

Data Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menunjukkan, Indonesia berada di urutan keempat negara timpang. Sebanyak 49,3 persen aset nasional dikuasai 1 persen penduduk. Di sektor kehutanan, ketimpangan sempat mencapai 97 persen bagi korporasi kehutanan dan 3 persen bagi masyarakat. Catatan lain, 32.000 desa berada di dalam dan sekitar hutan dengan 10 juta penduduk miskin.

Angka-angka ini sangat mengenaskan dan terbukti menimbulkan konflik agraria di sejumlah tempat. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (2016), konflik pada tahun 2016 mencapai 450 kasus atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015 (252 kasus). Dari 1.265.027 hektar luasan konflik, lebih dari 1 juta hektar terjadi di area perkebunan (601.680,57 ha) dan kehutanan (450.215,30 ha).

Salah satu strategi pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini di sektor kehutanan adalah melalui perhutanan sosial yang dijanjikan Presiden Joko Widodo seluas 12,7 juta ha. Lokasinya terpetakan dalam peta indikatif area perhutanan sosial di KLHK yang tersebar di daerah-daerah.

Dari alokasi itu, kini telah diberikan penetapan area kerja seluas 1,672 juta ha dan izin/akses/nota kesepahaman seluas 825.000 ha untuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan. Kesemuanya meliputi 4.872 kelompok yang mencakup 146.318 keluarga.

Namun, ini masih jauh dari janji Jokowi (dalam Nawacita), yakni 12,7 juta ha. Untuk mempercepat distribusi pemberian akses kelola bagi masyarakat ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016. Peraturan itu memotong birokrasi di daerah serta membuka kesempatan lebar bagi desa atau kelompok masyarakat untuk mengajukan skema perhutanan sosial. KLHK menjamin, apabila verifikasi menunjukkan kelembagaan masyarakat kuat dan padat karya, dalam waktu 14 hari kerja izin kelola akan diterbitkan.

Hutan adat

Pada hutan adat, pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menguatkan hutan adat sebagai hutan hak masih belum beijalan dengan baik. Meski dalam hal ini, di penghujung tahun 2016, Presiden Joko Widodo menyerahkan langsung hutan adat seluas 13.122,3 ha kepada sembilan masyarakat adat.

Lokasinya berada di Hutan Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba (313,99 ha), Hutan Adat Marga Serampas di Merangin (130,00 ha), Hutan Adat Wana Posangke di Morowali Utara (6.212 ha), Hutan Adat Kasepuhan Karang di Lebak (486 ha), Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang (39,04 ha), Hutan Adat Bukit Tinggai (41,27 ha), Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (276 ha), dan Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan di Kerinci, Jambi (452 ha). Selain itu, ada Hutan Adat Tombak Haminjon (Kemenyan) di Hum-bang Hasundutan, Sumatera Utara (5.172 ha), yang telah dikeluarkan kawasannya dari konsesi PT TPL dan perda masyarakat adatnya sedang dirampungkan.

Pengakuan daerah melalui instrumen hukum berupa perda atau minimal surat ketetapan kepala daerah ini menjadi syarat bagi masyarakat adat untuk memperoleh hutan adat. Dalam catatan Epistema Institute, terdapat 69 produk hukum daerah yang diterbitkan sejak Mei 2013 hingga Desember 2016. Angka ini sangat signifikan dan intens karena terjadi hanya dalam waktu kurang dari empat tahun.

Sayangnya, di tingkat nasional, proses berjalan lamban. Hanya sembilan hutan adat yang diproses serta ditambah terbaru 756 ha Hutan Adat Sigi di Sulawesi Tengah yang terdiri dari 351 ha area penggunaan lain dan 405 ha hutan produksi terbatas serta 40,5 ha Hutan Adat Sekadau di Kalimantan Barat.

Epistema menyebut, pengukuhan hutan adat ini baru kurang dari 10 persen luas hutan adat yang ditetapkan melalui produk hukum daerah, Bahkan, kalau merujuk pemetaan yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, dari 8,23 juta ha hutan adat, sekitar 5,1 juta ha berada di kawasan hutan negara.

Memberi kepercayaan kepada masyarakat adat yang sejak Indonesia berdiri hampir 72 tahun tak diakui adalah keharusan. Seperti kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, ’’Negeri ini tak akan pernah ada tanpa masyarakat adat.” (ICH)

Lihat Juga

Usulan Hutan Adat Diserahkan ke KLHK

TOUNA, MERCUSUAR – Masyarakat adat Tau Taa Wana Una di Kabupaten Tojo Una-una (Touna), Selasa ...

Kejahatan Lingkungan di Dua Kabupaten Diungkap

Lokakarya YMP Sulteng Demi memperoleh keadilan yang semestinya sebagai warga negara,Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *