(Palu, 6/8/15) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 2015 tentang Tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, oleh Dr. R Muh Hatta Tambubolon, SH,MH dinilai hanya sebagai pemanis kebijakan saja bila dilihat dari subtansi yang diatur dalam permen ini, ungap narasumber pada diskusi terkait permenag nomor 9 tahun 2015 di Palupi Room – YMP (28 Juli 2015).
Doktor lulusan Brawijaya Malang ini menjelaskan bahwa bicara mengenai Kesatuan masyarakat hukum adat maka otomatis ada melekat hak ulakyat, sementara di permen hanya mengatur soal hak komunal. Dalam konteks hak ulayat konsepsinya lebih jelas karena memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan kepentingan umum itu melekat. Yang jadi soal di hak komunal adalah soal kewenangan pengelolaan yang tidak dijelaskan di dalam permenag ini. Selain itu pakar hukum adat ini menilai, Permenag 9/2015 sangat birorakratis terkait permohonan penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat.
Searah dengan itu Amran Tambaru selaku Direktur YMP, juga mengatakan bahwa lahirnya permenag 9 mencabut permenag Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Namun permenag yang baru isinya tidak lebih baik dari permenag No.5. Namun permen No.9/2015 menurutnya, bisa jadi peluang ketika ada hak-hak komunal yang non masyarakat adat yang berada di wilayah kawasan hutan mau wilayahnya menjadi penetapan tanah komunal,” jawabnya.
Yayasan Merah Putih sendiri medorong Pengelolaan Hutan Adat pada komunitas Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara. Namun menurut Edy Wicaksono (koordinator CBFM YMP), “Dalam konteks Wana Posangke mungkin permenag ini belum pas dijadikan alas hukum. Kebijakan lain perlu ditelaah lagi dan dikomunikasikan pada komunitas sambil melihat progres pemda kabupaten Morowali Utara terkait penetapan peta wilayah adat.
Menanggapi itu, Dr. R Muh Hatta Tambubolon yang juga dosen Hukum Universitas Tadulako Palu, mengungkapkan bahwa selain Permenag, ada kebijakan lain yang bisa menjadi dasar diantaranya adalah Permen Desa No 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, bisa digunakan sebagai alas hukum. Namun harus ada perda yang mengatur tentang penguatan desa. Menurutnya penguatan desa itu sudah termasuk kewenangan regulasinya, dan nantinya itulah yang melahirkan melahirkan peraturan desa. “Permen Desa ini juga mengakomodasi semua kebutuhan-kebutuhan rakyat, yang menegakkan keadilan terhadap rakyat dan segala macam, disinilah kongkritnya,” terangnya. Namun terkait dengan akses dan kontrol rakyat terhadap tanah dan sumber-sumber kehidupannya, ia berharap ada pilihan-pilihan hukum yang bisa digunakan oleh komunitas. “tetapi tetap dengan catatan yang kritis, dengan melihat masalah komunitas dan apa yang menjadi kebutuhan rakyat itu sendiri,” tambahnya.(RIA)