Masih terletak dalam wilayah Kota Palu, tapi terkesan dilupakan oleh orang Palu. Ngapa Vatutela, begitu penduduk setempat menyebut kampungnya. Terbagi ke dalam 2 wilayah dusun, dengan jumlah Kepala Keluarga mencapai 170, dan populasi sebesar 315 jiwa, di bawah naungan Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikolore. Mereka termasuk ke dalam rumpun Kaili, dengan dialek bahasa Kaili Tara. Hidup sebagai petani dan peternak di bentang alam berbukit, yang separuhnya hijau, tapi lebih banyak lagi yang tandus. Tanaman bawang, terutama spesies lokal, pernah mengharumkan nama kampung ini. Tapi, setelah sumber air semakin berkurang dan mengering, masyarakat pun beralih ke usaha sektor lain. Tanaman lainnya yang menjadi tulang punggung perekonomian adalah kemiri dan kopi. Kedua jenis tanaman ini dapat berkembang dengan baik, di dataran tinggi sebelah timur dan tenggara dari perkampungan. Sayang sekali, harga jualnya rendah, sebab, ditentukan oleh pembeli dari luar.
Ternak kambing dan domba diternakkan sehari-hari oleh orang Vatutela. Di mana kaum laki-laki maupun perempuan memiliki tugas berimbang di sektor ini. Sebahagian ternak adalah milik sendiri, tapi ada pula ternak milik orang lain dari luar Vatutela. Jika ternak milik sendiri, keuntungan hasil penjualannya dinikmati langsung oleh orang Vatutela. Tapi, jika ternak titipan, hasil penjualannya dibagi dua porsi, si peternak dan si pemilik.
Tapi, sebahagian masyarakat kini memilih meninggalkan profesi bertani dan beternak. Dengan kesulitan ekonomi yang semakin menghimpit, serta ketersediaan air bersih yang semakin menipis, orang Vatutela harus mulai memikirkan masa depannya. Saat ini, kaum laki-lakinya banyak yang bekerja di sektor informal perkotaan. Seperti menjadi buruh bangunan, tukang ojek dan buruh pabrik. Setelah tambang emas Poboya digerakkan secara massal, sebahagian laki-laki ikut pula sebagai penambang.
Kaum perempuan, sebahagian besar menjadi pekerja di pabrik-pabrik, di wilayah Tondo dan Mamboro. Salah satu pemandangan unik ketika berkunjung ke Vatutela, adalah, kita akan susah bertemu kaum perempuan di siang hari. Mereka, selain ke ladang untuk bertani dan beternak, juga berada di pusat-pusat industri di Kota Palu. Dengan harus rela meninggalkan anak-anak dan suami. Petang hari, kaum perempuannya dapat kita saksikan berduyun-duyun pulang dari pusat perindustrian.
Terkepung Kawasan Tahura – Blok CPM
Pada tahun 1984, kampus Universitas Tadulako mulai berpindah ke lokasi baru di Kelurahan Tondo. Pembangunan dan pengembangan kampus serta infrastruktur pendukungnya tidak terelakkan. Oleh sebab itu, diperlukan sumber daya pendukung guna pembangunan inftrastruktur tersebut. Salah satunya, kebutuhan terhadap pasokan air. Untuk dialirkan ke kompleks perkuliahan, hingga ke pipa-pipa air di kompleks perumahan dosen. Satu-satunya lokasi terdekat untuk memperoleh sumber air ada di Vatutela. Sejak saat itu, episode air mengalir meninggalkan Vatutela sampai ke kampus dan perumahan dosen dimulai.
Sejak hari itu pula, krisis air mulai dipahami Orang Vatutela sebagai takdir pembangunan. Entah, kepada siapa mereka harus berkeluh kesah. Karena, pemerintah Kota Palu tak pernah menemukan solusi tepat untuk krisis air di Vatutela. Perbaikan jalan, listrik masuk kampung, hingga pembangunan jembatan, tak mampu menjawab keresahan mereka. Bagaimanapun, air adalah ritme hidup orang Vatutela yang terlanjur hilang. Orang tidak dapat lagi membudidayakan bawang. Beternak kambing dan domba semakin sulit, sebab air semakin berkurang.
Bukannya memberi solusi, pemerintah Kota Palu bahkan menumpuk persoalan. Suplai air untuk warga di Kelurahan Tondo juga diperoleh dari Vatutela. Akibatnya, tiga sungai di Vatutela mengering hingga kini. Yang tertinggal adalah sungai-sungai mati, untuk kemudian dilirik menjadi areal pertambangan galian C. Yang mungkin hasilnya akan dinikmati oleh pemilik modal.
Pada tahun 1995, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No: 461/ Kpts-II/1995 tertanggal 4 September 1995, untuk menetapkan satu kawasan konservasi seluas 8.100 Ha, dengan sebutan Taman Hutan Raya (Tahura) Palu. Membelah dua wilayah administrasi pemerintahan, Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Tahura, sebagai kawasan konservasi, memiliki batasan dan larangan yang tak boleh dilanggar siapapun. Termasuk, larangan memasuki kawasan itu selain tujuan penelitian, pendidikan dan rekreasi serta wisata alam.
Kehadiran Tahura menyebabkan ruang kelola orang Vatutela semakin menyempit dan terbatas. Karena, kawasan Tahura hanya berjarak ½ Km dari perkampungan dan ruang kelola masyarakat. Termasuk, salah satu sumber mata air yang masih dapat diandalkan orang Vatutela, terletak dalam kawasan Tahura. Oleh sebab itu, kehadiran Tahura dengan berbagai pembatasannya menambah kesulitan hidup orang Vatutela. Termasuk untuk pemenuhan suplai air ke perkampungan.
Dua tahun berselang, Presiden memberikan izin Kontrak Karya kepada Rio Tinto melalui anak perusahaannya bernama CPM. Dengan Surat Keputusan Presiden No. B-143/Pres/3/1997, untuk pertambangan emas, dengan luas konsesi 561.050 hektar di Sulawesi Tengah. Untuk wilayah Palu, dinamakan blok Poboya-Palu, dengan luas areal mencapai 37.020 Ha. Sebahagian dari blok Poboya-Palu mencakup wilayah Vatutela dan sekitarnya.
Kepemilikan silih berganti dari Rio Tinto, Newcrest Mining, Bumi Resources, hingga Vallar Plc, tidak bermakna apapun bagi orang Vatutela. Bagi orang Vatutela, pertambangan pasti akan menghadirkan masalah baru bagi hidup mereka. Karena mereka telah banyak mendengar, membaca, bahkan melihat tayangan televisi tentang dampak akibat pertambangan. Apa yang mereka khawatirkan soal tambang benar-benar terjadi. Kehadiran sekitar 8.000 orang menambang secara massal di Poboya sejak tahun 2010, tetangga terdekat Vatutela. merubah banyak hal. Dari aspek sosial hingga lingkungan hidup.
Perubahan rona lingkungan, dari semula senyap menjadi bising oleh deru mesin tromol dan tong-tong. Dari udara segar perbukitan, menjadi ruang penuh debu yang mungkin sudah tercemari merkuri. Jernihnya air sungai, kini berubah menjadi sungai yang tercemari karena perubahan warna dan rasa air. Kontaminasi merkuri pada limbah buangan penambang, kini sudah seluas kolam renang olimpiade (Mercusuar, 25 September 2012). Walaupun CPM belum beroperasi, tapi contoh buruk dari pertambangan massal yang dilakukan warga di Poboya, semakin membuat orang Vatutela merasa getir.
Tapi, kegetiran soal tambang itu benar-benar hadir di kampung mereka. Ketika, pada bulan Februari 2012, pihak Kelurahan Tondo menyetujui permintaan sejumlah warga dari luar daerah untuk menambang di Vatutela. Orang Vatutela tidak dapat menolak, sebab para penambang sudah membangun kesepakatan dengan pemerintah kelurahan. Satu-satunya hal yang membuat orang Vatutela agak tenang waktu itu, adalah pelarangan bagi operasi mesin tromol dan tong-tong.
Setelah tujuh bulan menambang, masyarakat penambang yang berasal dari luar daerah, memutuskan moratorium. Sebab, kandungan emas di tanah Vatutela mulai menipis dan hilang. Penambang merasa rugi jika meneruskan operasinya di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, mereka memutuskan berpindah sekitar 3 Km ke selatan, di lokasi bernama Batu Tempa. Bentang alam yang membatasi wilayah Vatutela dan Poboya secara adat maupun administrasi.
Kepergian penambang ke arah Batu Tempa tidak membuat sedih penjaja makanan, yang umumnya kaum perempuan dari Vatutela. Mereka akhirnya dapat kembali berkonsentrasi membantu suami mengurus ternak dan ladang. Karena, hasil menjual makanan kepada penambang tidak seberapa. Sebab, seringkali para penambang membeli makanan di luar dan membawanya ke lokasi tambang. Entah kapan lagi penambang itu kembali ke Vatutela.
Namun, kehadiran penambang pada sejakl 7 bulan silam hanyalah permulaan. Lambat atau cepat, dalam hitungan waktu, operasi pertambangan CPM akan masuk juga. Bersaing dengan pertambangan rakyat yang sedang berjalan saat ini. Eskalasi pertambangan modern dan massal akan bertarung memperebutkan sumber air yang masih tersisa dalam kawasan Tahura di hulu Vatutela.
Satu hal yang mencengangkan, pernyataan pihak UPTD Tahura Palu, yang merelakan untuk memperciut atau menggeser kawasan Tahura, demi memberikan ruang bagi pertambangan CPM di kemudian hari. Namun, untuk kebutuhan orang Vatutela, terutama sumber air dan wilayah kelola, pihak UPTD Tahura sama sekali enggan berbagi. Paling banter, mereka hanya datang membawa bibit tanaman, untuk ditanam di lahan-lahan orang Vatutela. Dengan iming-iming Rp.1.500 per pohon. Katanya, proyek penanaman pohon untuk penghijauan.
Pembangunan Yang Memarjinalkan
Krisis air adalah pertaruhan hidup, yang telah merubah wajah sosial orang Vatutela. Pelbagai program yang mengatasnamakan pembangunan untuk memperbaiki keadaan masyarakat, justru menciptakan pemarjinalan. Kehendak untuk memperbaiki justru gagal, karena seluruh masalah masyarakat di bawah ke wilayah tehnis belaka (Li, 2007). Masyarakat menjadi terpinggirkan di kampungnya sendiri. Dihilangkan dari akses sumber daya alam yang mereka jaga dan rawat selama ini.
Sumber air, yang mereka jaga dan pertahankan keberadaannya, akhirnya dialihkan, dipindahkan, dicaplok dan dimonopoli pemanfaatan dan penguasaannya oleh otoritas negara dan swasta. Oleh kehadiran politik konservasi melalui Tahura, pertambangan melalui blok CPM dan tambang massal, institusi pendidikan bernama UNTAD, dan pengembangan Kota Palu melalui berbagai kompleks perumahan dan pusat perindustrian.
Pembangunan kemudian semestinya melalui tahapan dan fase-fase yang berkesinambungan. Bukan dengan pemaksaan satu proyeksi pembangunan dalam satu kali pewujudan. Karena itu dapat melupakan realitas serta tahapan perkembangan masyarakat setempat. Termasuk, pemaksaan dalam introduksi pembangunan yang tidak melalui satu konsensus sosial di tengah masyarakat. Demikianlah nasib orang Vatutela kini, dengan hidup di kepung oleh bentangan alam yang semakin kering dan tandus. Setelah sumber air benar-benar hilang dari hadapan mereka saat ini.
Penulis : Azmi Sirajuddin