Paska Putusan MK : No. 35P/ UU /X /2012 Kelola hutan baru dengan mindset dan kepentingan politik lama

profhariadiedit

Hariadi Kartodihardjo*

Selama dua tahun berturut-turut Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan perubahan isi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Di awal tahun 2012, MK melalui putusannya No. 45/PUU-IX/2011 menetapkan bahwa kawasan hutan negara harus sampai pada tahap penunjukkan agar sah/legal, sehingga status penunjukan kawasan hutan hanya bersifat sementara. Sedangkan pada 16 Mei tahun 2013 ini, MK melalui putusannya No. 35/PUU-IX/2012 kembali memutuskan bahwa hutan adat yang semula menjadi bagian dari hutan negara sekarang menjadi bagian dari hutan hak. Substansi pokok perubahan itu secara normatif telah mendudukkan kawasan hutan negara pada kepastiannya, baik proses penetapan yang dilaluinya sebagai proses yang tidak lagi dianggap sebagai otoriter, maupun kejelasan posisinya terhadap hutan adat. Di sisi lain, kini UU No 41/1999 tersebut, setidaknya pada bagian-bagian yang telah diubah isinya itu, dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Perubahan isi pada tingkat Undang-undang logikanya—berdasarkan pendekatan positivistik—akan berpengaruh secara nyata pada peraturan di bawahnya serta praktek-praktek di lapangan. Logika yang lain—berdasarkan pendekatan sosial-politik, konstruktivis—mengatakan belum tentu dengan adanya perubahan teks itu akan mengubah perilaku pihak-pihak yang terkait. Karena, antara lain, terbukti tidak semua isi Undang-undang juga dapat dijabarkan sampai pada pelaksanaannya di lapangan. Dalam prakteknya pasal-pasal dalam Undang-undang dipilih mana yang paling urgen untuk dilaksanakan dan pilihan itu tidak bebas-murni berdasarkan kepentingan umum. Perubahan kebijakan secara drastis juga jarang ditemukan, meskipun acuan hukumnya berubah drastis, karena mindset lama tidak pernah mudah diganti dengan yang baru.

Tidak berada di Ruang Kosong

Pelaksanaan putusan MK No.45/PUU-IX/2011 sangat tergantung kecepatan penetapan kawasan hutan negara, karena status hutan yang masih ditunjuk dianggap sebagai bagian dari proses perencanaan penetapan kawasan hutan secara sah. Hal itu menimbulkan perdebatan terutama adanya status yang mengambang itu. Pertanyaannya, sampai kapan penunjukkan itu dianggap sah? Bagaimana jika ada izin pemanfaatan hutan yang diterbitkan pada kawasan hutan yang masih dalam status penunjukkan? Apakah situasi itu tidak kembali ke awalnya, yang oleh MK disebut sebagai otoriter, karena izin yang bersifat legal itu cenderung dipaksakan keberadaannya di areal yang mungkin masih ditempati oleh pihak ketiga—dalam hal ini masyarakat adat/lokal—yang sama sekali tidak pernah dilayani kebutuhan atas legalitasnya.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa hutan adat berada di semua fungsi hutan serta di hutan-hutan yang telah diberi izin secara resmi oleh Pemerintah. Sejauh ini, Pemerintah tidak pernah mempunyai program untuk memisahkan hutan adat dan hutan negara, sebaliknya yang dikerjakan Pemerintah sejauh ini hanya memisahkan batas-batas izin, batas fungsi hutan dan batas hutan negara dengan peruntukan lainnya (non hutan). Pengabaian keberadaan hutan adat di dalam hutan negara sebelum putusan MK itu menunjukkan posisi Pemerintah yang sesungguhnya, bahwa dengan fakta seperti itu memang hutan adat yang sah tidak dikehendaki Pemerintah. Orientasi ekonomi melalui perizinan perusahaan besar menjadi prioritas utama, yang telah melenakan perhatian Pemerintah terhadap pengembangan ekonomi usaha kecil kehutanan sejak tahun 1970an hingga saat ini.

Dalam kondisi ketidak-pastian kebijakan mengenai penetapan kawasan hutan seperti tu beberapa inisiatif dijalankan. Pertama, dibentuk Tim Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan di Kabupaten Percontohan di Kalimantan Tengah dengan SK Ketua Satgas REDD+ No 002/REDD+/02/2013 tanggal 28 Februari 2013. Tim ini terdiri dari wakil-wakil Dewan Kehutanan Nasional, Deputi V dan VI UKP-PPP, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Balai Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah V, Dinas Kehutanan Barito Selatan, LSM (Epistema Institute) dan Perguruan Tinggi (Fahutan IPB). Tim ini mengikuti pelaksanaan penataan batas di Kabupaten Barito Selatan secara langsung sehingga diharapkan mengetahui permasalahan dan mempunyai pembelajaran cara-cara mengatasi masalahnya.

Kedua, melalui Nota Kesepahaman Bersama (NKB) 12 Kementerian/Lembaga yang diinisiasi oleh Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Maret 2013. KPK membentuk inisiatif ini berdasarkan kajiannya terhadap sistem perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan pada tahun 2010. Substansi yang akan dijadikan adenda NKB ini meliputi penyempurnaan kebijakan dan peraturan-perundangan, penyelarasan prosedur serta penguatan mediasi dan penyelesaian konflik kawasan hutan. Terkait dengan konflik tersebut telah pula terbit Inpres 2/2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri, dengan koordinator Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), yang telah menjabarkan 36 rencana aksi. Diantara rerncana aksi tersebut yaitu menyiapkan kebijakan tentang status desa dalam kawasan hutan serta pembatasan luasan pemilikan izin bagi IUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman.

Dalam pembahasan rencana aksi dalam NKB tersebut, putusan MK Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat juga dipertimbangkan. Keputusan mengenai lokasi-lokasi hutan adat yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan negara akan ditetapkan bersama oleh Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Informasi dan Geospasial dan akan dibentuk Surat Keputusan Bersama. Hal ini dianggap penting mengingat putusan MK ini nampak juga dapat tidak serta-merta membawa perubahan yang berarti, setidaknya dari pemahaman dan langkah Kementerian Kehutanan saat ini. Kemenertian Kehutanan menganggap bahwa putusan MK tersebut hanya mendudukkan posisi status kawasan hutan negara terhadap hutan adat yang penetapannya menunggu adaya Peraturan Daerah yang menetapkan hutan adat, sebagaimana dinyatakan dalam UU No 41/1999. Terlepas dari pernyataan itu, pelaksanaan putusan itu juga akan dipengaruhi oleh RUU mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang akan memiliki hubungan pengaturan yang sangat erat dengan pengaturan hutan adat dan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam UU Kehutanan. Disamping itu, MK sendiri di dalam pendapat hukumnya dalam Putusan No.35/2012 menyatakan kemendesakan untuk adanya suatu Undang-Undang yang mengatur Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaksanaan dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Disisi lain RUU Pertanahan juga akan mengatur obyek tanah adat dan akan menentukan pelaksanaan putuasn MK tersebut.

Hal lain yang juga patut diperhitungkan adalah langkah masyarakat adat sendiri yangmana di beberapa tempat sudah melakukan pemasangan plang, bahwa hutan adat bukan hutan negara berdasarkan putusan MK tersebut.

Perubahan midset?

Perubahan peraturan-perundangan dan kebijakan kehutanan yang diharapkan terjadi setelah putusan MK serta berbagai inisiatif di atas, masih menjadi tanda tanya. Itu disebabkan antara lain, perubahan itu praktis dari luar bekerjanya sistem yang menentukan perubahan peraturan-perundangan kehutanan. Sedangkan ide dasar atau mindset peraturan-perundangan kehutanan itu bukan hanya sekedar telah menghasilkan teks peraturan sejak tahun 1970an, tetapi juga telah menjadi praktek-praktek nyata di lapangan, menjadi sumber rujukan benar-salah, baik-buruk dan bahkan keyakinan bagaimana hutan harus dikelola.

Kedua putusan MK di atas, dalam persoalan mindset ini, tidak harus dibaca isinya sebagai penyebab perubahan peraturan dan kebijakan mengelola kawasan dan hutan, melainkan putusan itu mengajak mengubah cara berfikir bahwa mengelola hutan itu harus melihat orang-orang sebagai subyek pembangunan, cara pengambilan keputusan, perbedaan perlakuan dan ketidak-adilan yang selama ini sudah terjadi, sebagai hal yang pertama. Fungsi hutan, kawasan hutan, potensi hutan, kebijakan kehutanan hanyalah obyek yang telah melahirkan ketidak-keadilan dan ketidak-lestarian hutan. Maka, dalam hal ini, gugatan yang mampu mengubah isi Undang-undang Kehutanan itu pertama-tama harus direspon untuk dapat mengeluarkan kebijakan kehutanan secara adil dan bukan mempersoalkan hal-hal teknis, termasuk menterjemahkan Undang-undang Kehutanan dengan cara lama dan parsial yang pada intinya mendapat argumen bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah benar.

Kedua, putusan MK juga menegaskan bahwa istilah kawasan hutan yang selama ini pada umumnya dimaknai sebagai kawasan hutan negara, tidaklah benar demikian. Dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap. Hutan tetap dapat saja diwujudkan sehubungan dengan adanya wilayah lindung berdasarkan penataan ruang yangmana hutan tetap tersebut dapat berupa hutan hak dan/atau hutan adat. Melalui putusan MK di atas, pemisahan hutan negara dengan hutan adat menjadikan klasifikasi status hutan menjadi hutan negara dan hutan hak, dimana hutan hak dibedakan antara hutan adat dengan hutan perseorangan (berbadan hukum). Disamping itu, MK juga memperkuat keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum yang dapat memiliki hak berupa hutan, yang disebut sebagai hutan adat. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat tersebut sudah dikuatkan MK dalam putusan sebelumnya yakni, Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 tanggal 16 Juni 2011.

Meskipun begitu, Pemerintah tidak boleh lepas tangan terhadap pengaturan hutan adat dan hutan hak. Seperti dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Kehutanan, bahwa semua hutan dikuasai negara, dalam hal ini pengaturan fungsinya dan keutuhan fungsi hutan itu tetap menjadi kewajiban Pemerintah untuk menjaganya melalui kebijakan yang dikeluarkannya.

Ketiga, persoalan penetapan kawasan hutan di lapangan tidak terlepas dari persoalan-persoalan simbolisasi kawasan hutan. Sejauh ini kawasan hutan yang luas, misalnya dengan angka 130 juta Ha telah menjadi simbol kekuasaan yang harus dipertahankan, tidak peduli bahwa di lapangan separoh dari luasan itu sudah berubah status dan fungsinya. Mempertahankan angka itu—meskipun sarat dengan konflik—jauh lebih penting daripada mendapatkan kawasan hutan negara yang legal dan legitimate. Akibat pandangan seperti itu, serta adanya kepentingan lainnya, maka upaya untuk memperkuat Panitia Tata Batas dengan tim yang mampu mengidentifikasi adanya pihak ketiga dan menyelesaikan konfliknya dalam pelaksanaan tata batas, tidak serta merta mendapat respon positif. Kepentingan lain tersebut antara lain adanya pemanfaatan dan penggunaan hutan secara tidak sah, yang ingin dilindungi pada saat tata batas kawasan hutan negara ditetapkan.

Keempat, dukungan politik untuk menyelesaikan persoalan hak atas tanah maupun hak dan askes terhadap sumberdaya alam secara umum sangat rendah. Hal ini sungguh mengherankan, ketika akademisi yang menjadi pemimpin lembaga-lembaga ekonomi itu tahu bahwa tidak ada satu teori ekonomipun bisa berjalan tanpa dipenuhinya asumsi bahwa hak-hak atas sumberdaya yang dibicarakan dalam ekonomi itu valid dan aman. Ketidak-jelasan hak-hak atas sumberdaya alam ini nampaknya secara politik sedang dipertahankan agar pemanfaatan sumberdaya alam hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai modal besar untuk mampu membeli kekuasaan. Dalam situasi yang sudah teratur hal seperti itu tidak akan dapat dilakukan. Dari proses komunikasi antara tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kementerian/Lembaga untuk menentukan agenda kebijakan mempercepatan pengukuhan kawasan hutan ditunjukkan rendahnya semangat Kementerian/Lembaga menyongsong putusan MK yang berpotensi menyelesaikan persoalan hak atas sumberdaya alam.

Penutup

Sebelum adanya putusan MK, hutan adat sebagai hutan negara tidak dimaknai sebagai upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hutan adat oleh negara, karena hutan adat tetap termarjinalkan, dibiarkan bersaing dengan para pemegang izin dan pengelola hutan dengan tanpa mendapat kepastian hukum. Situasi demikian itu mempuyai kedalaman persoalan mindset maupun politik yang tidak mudah untuk diubah.
Penggunaan scientific forestry dari Barat sebagai dasar penetapan kebijakan kehutanan secara sempit cenderung tidak dapat menerima keragaman tujuan pengelolaan hutan serta menjadikan hutan sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek. Mindset demikian itu kesulitan untuk menerima dan menghormati hak-hak masyarakat adat, sebaliknya menjadi artikulasi dan digunakan dan sejalan dengan politik pada masa kolonial maupun sistem pemerintahan yang cenderung menggunakan pendekatan represif dan/atau tidak berkeadilan sosial. Dengan demikian, lemahnya penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat bukan sekedar implikasi pada tataran teknis-operasional melainkan emboded dalam norma, pemaknaan dan landasan berfikir dalam pengelolaan hutan yang harus segera berubah atau diubah oleh perkembangan zaman?

———————————————————

*Penulis adalah Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, IPB, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional 2011-2013.
Tulisan ini di persiapkan untuk buletin tenure dan dipublikasika atas izin penulis.

Lihat Juga

MASYARAKAT BALEAN TERIMA SK HUTAN DESA

(Jakarta, 26/10/2017),Presiden Jokowi menyerahkan SK Hutan Desa Balean kepada Ketua lembaga pengelola hutan Desa Balean, ...

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...