Forum negosiasi internasional terkait perubahan iklim serta upaya penurunan emisi global semakin menjauh dari isu hak. Berkaca dari forum konsultasi di Bonn, Jerman, pertengahan Juni lalu, materi draf naskah negosiasi sama sekali minim terkait isu hak. Naskah negosiasi yang akan dipersiapkan itu, rencananya akan diluncurkan pada Oktober tahun ini, sebagai bahan negosiasi antar pihak pada forum COP 20 – UNFCC di Peru, akhir tahun ini.
Anggali Putri, Staf Program Hutan & Iklim dari Perkumpulan HuMA yang mewakili masyarakat sipil dari Indonesia di pertemuan Bonn, mengaku kecewa dengan sikap para pihak. “Isu hak kelompok rentan dan terdampak semakin tidak memperoleh tempat di ruang negosiasi iklim,” ujarnya. Padahal, sejatinya, isu iklim yang terkait mitigasi dan adaptasi global terhadap peningkatan emisi, tidak dapat dipisahkan dari peran serta penyandang hak, seperti masyarakat adat maupun lokal. Umumnya mereka tersebut bermukim dan beraktivitas di dalam dan sekitar hutan.
Setelah putaran Cancun di tahun 2010 yang melahirkan prinsip rambu keselamatan (safeguards), tak ada lagi putaran UNFCC yang berkualitas. Padahal, Deklarasi Cancun putusannya mengikat secara hukum para pihak, dan wajib dilaksanakan di masing-masing negara pihak. Hak para penyandang hak (right holders) seperti masyarakat adat dan lokal, tidak lagi dibicarakan. Kepentingan yang sekarang menonjol ialah, bagaimana skema-skema proyek mitigasi dan adaptasi iklim dapat diakses secara meluas. Bahkan cenderung mengerucut ke pembicaraan blok-blok proyek iklim. Instrumen semacam FPIC (Padiatapa) juga tidak lagi dipandang wajib dilakukan dalam kebijakan hutan dan lahan di setiap negara.
Komponen hak masyarakat adat dan lokal maupun masyarakat rentan dan terdampak, meliputi hak tradisional yang melekat. Seperti hak menjalankan basis produksinya di sekitar hutan. Termasuk pula, hak untuk memperoleh nilai tambah dari produksi yang mereka hasilkan sebagai peramu hasil hutan. Hak lain yang melekat ialah kepastian untuk diakuinya praktek-praktek pengelolaan cerdas atas sumber daya lokal. Seperti keunggulan praktek tradisional mereka dalam pengelolaan hutan dan lahan berkelanjutan, dibandingkan dengan input tehnologi modern. Serta hak untuk tidak dipindahkan dari wilayah mukim tradisionalnya, dengan atau demi tujuan proyek pembangunan yang mengatasnamakan negara.
Cakupan hak-hak tersebut dalam Deklarasi Cancun jelas diatur dan dimandatkan secara mengikat bagi negara pihak. Namun, tahun-tahun terakhir ini spirit Cancun semakin melemah,bahkan tidak menjadi perbincangan lagi di arena negosiasi global. Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global meragukan itikad baik negara-negara pihak. Terutama negara yang tergolong Annex Satu di dalam UNFCC, seperti AS, Inggris, Australia, Canada dan Jerman. Yayasan Merah Putih (YMP) sebagai bahagian dari koalisi tersebut, juga mengkhawatirkan kecenderungan serupa di Sulawesi Tengah.
Direktur YMP Amran Tambaru, memberi contoh menurunnya antusiasme para pihak terhadap isu hak di Sulawesi Tengah. Padahal sudah ada dua kebijakan provinsi terkait penurunan emisi di sektor hutan dan lahan, yang mengatur soal hak masyarakat adat dan lokal. Yaitu Peraturan Gubernur Sulteng No.36 tahun 2012 tentang Strategi Daerah REDD+ Sulawesi Tengah. Serta Peraturan Gubernur No.37 tahun 2012 tentang Pedoman FPIC untuk REDD+ Sulawesi Tengah. “Kita melihat beberapa mandat di dalam Strada belum dilaksanakan, seperti pembangunan lembaga penanganan konflik hutan dan lahan belum dilakukan hingga kini,” ujarnya. *[Azmi]