Kesepakatan LoI antara pemerintah Indonesia dengan Norwegia pada tahun 2009, dipandang sebagai pintu masuk skema REDD+ di Indonesia. Sekaligus, komitmen moratorium penebangan hutan Indonesia selama 2 tahun. Apalagi, waktu itu, jargon Presiden SBY ke negara-negara pendonor tentang kemampuan Indonesia menurunkan emisi 26% dengan sumber daya sendiri, menjelang tahun 2020.
Hal ini dibumbui dengan jargon penurunan level emisi hingga 41% pada tahun 2020 dengan bantuan global. Kucuran dana pun mengalir deras dari pemerintah Norwegia. Yang diperuntukan bagi upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan aspek ikutannya, sebesar 1 juta US Dollar.
Seiring waktu berjalan, pemerintah Indonesia pun mulai menjalankan skema pendanaan itu dengan membangun proyek-proyek REDD+ di berbagai wilayah. Termasuk di Sulawesi Tengah, yang terpilih sebagai Propinsi percontohan pilot proyek REDD+. Penetapan pemerintah tersebut dikeluarkan pada tahun 2010 silam, yang ditandai dengan peluncuran perdana proyek REDD+ Sulawesi Tengah pada bulan Oktober 2010, di Palu. Dengan menggandeng pihak UNREDD Programme sebagai pelaksana proyek REDD+ di wilayah ini. Alasan pemilihan Sulawesi Tengah, karena menurut pemerintah, wilayah ini masih memiliki level deforestasi yang rendah, kepadatan karbon cukup tinggi, serta dukungan politik pemerintah daerah yang kuat.
Terlepas dari siapa pelaksana proyeknya, berapa dana yang dikucurkan, serta alasan memilih Sulawesi Tengah, namun yang perlu dipertanyakan ialah siapa yang akan diuntungakan dari proyek tersebut. Apakah pemerintah nasional di Jakarta, atau pemerintah di level sub nasional di Sulawesi Tengah. Ataukah pemerintah di level Kabupaten dan Kota, pebisnis, atau masyarakat. Pertanyaan ini harus dimunculkan kembali, sebab sejak proyek ini diluncurkan tahun 2010, kita tidak tahu pasti siapa penerima manfaatnya.
Keberadaan Sekretariat Kelompok Kerja REDD+ Sulawesi Tengah yang bermarkas di Dinas Kehutanan Propinsi, tidak cukup terang menggambarkan kepada publik siapa sebenarnya kelak yang akan menerima manfaat itu. Walaupun, komposisi keanggotaan Pokja tersebut berasal dari beragam pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Selain ada unsur pemerintah, juga ada representasi akademisi, pebisnis hutan, LSM dan juga wakil masyarakat.
Karena, kebijakan holistik terkait proyek REDD+ di semua wilayah, tetap berada di tangan pemerintah nasional di Jakarta. Dengan kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Persiapan Kelembagaan REDD+ sejak tahun 2010, yang berada di bawah kendali UKP4, melalui Kepres Nomor 19 tahun 2010. Dan telah diperpanjang tugasnya sampai tahun 2012 berdasarkan Kepres Nomor 25 tahun 2011. Sehingga, pemerintah sub nasional di Sulawesi Tengah hanya perpanjangan tangan dari keputusan yang telah ditetapkan di Jakarta.
Terkait itu pula, perlu dipertanyakan basis argumentasi pemerintah menetapkan wilayah Sulawesi Tengah sebagai pilot proyek untuk aktivitas percontohan REDD+ (demonstrative activity). Pemerintah, terutama Kementrian Kehutanan jangan lagi bersandiwara bahwa kawasan hutan di Sulawesi Tengah sebesar 4.394.932 Ha. Sebab, data resmi Kementrian Kehutanan pada tahun 2008 justru menyatakan bahwa laju deforestasi di Sulawesi Tengah dari tahun 2003 hingga 2008 mencapai 118.744 Ha/tahun. Atau sepadan dengan 27 kali lapangan sepak bola per jam. Belum lagi, lahan kritis di daerah ini juga cenderung meningkat setiap tahun. Bahkan, Dishut Propinsi Sulawesi Tengah justru melansir data di tahun 2007 bahwa lahan kritis sudah mencapai 625.257,80 ha.
Pembaharuan Tata Kelola Kehutanan
Deforestasi dan lahan kritis di Sulawesi Tengah umumnya disebabkan oleh faktor eksploitasi yang destruktif dan pembalakan liar. Selain itu, tumpang tindih perizinan di dalam kawasan hutan juga memicu konflik laten dan manifest. Yang terkadang berujung pada konflik tenurial antara sesama masyarakat, antara masyarakat dengan investor, dan antara masyarakat dengan pemerintah. Ditambah dengan belum jelasnya tata batas kawasan hutan dengan kawasan non hutan. Serta buruknya pengelolaan tata ruang, yang terkadang memunculkan konflik kepentingan antar sektoral.
Tengoklah, hingga saat ini, masih ada 16 perusahaan dengan izin IUPHHK yang telah terlanjur dikeluarkan dari Jakarta, 6 perusahaan tidak aktif. Dengan total luas konsesi dari 16 perusahaan itu mencapai 625.257,80 Ha (Dephut & BPS, 2009). Sejak keluarnya Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang Moratorium Hutan dan Penundaan Pemberian Izin Baru, tidak ada evaluasi sama sekali terhadap 16 izin tersebut. Di sisi lain, ada 12 perusahaan memegang izin HGU perkebunan sawit, dengan total areal mencapai 124.546 Ha (Walhi Sulteng, 2010). Di luar itu, masih ada 250 perusahaan tambang, mulai dari yang lokal sampai transnasional. Dengan izin IUP di dalam kawasan hutan yang mencapai 2.389.580 Ha (Jatam Sulteng, 2010).
Lantas, bagaimana dengan nasib masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keberlangsungan hutan. Jika, memang proyek REDD+ ini dirancang untuk pengurangan emisi dari sektor hutan, seharusnya memikirkan pula nasib masyarakat. Di daerah ini, terdapat 724 kampung atau setingkat desa lainnya yang berada di dalam dan di sekitar hutan (Dephut & BPS, 2009). Masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut merupakan 33% dari total penduduk Sulawesi Tengah. Di sisi lain, terdapat pula komunitas adat yang secara subsisten hidup di dalam hutan, dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Mereka ini berjumlah 20.517 KK (KAT Center, 2004).
Dalam konteks implementasi REDD+ di Sulawesi Tengah melalui UNREDD Programme, di mana posisi dan peran kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Padahal, mereka ini yang paling beresiko dari setiap proyek REDD+ yang akan dijalankan. Mereka rentan, karena posisi tawarnya dilemahkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Beberapa Undang-Undang, termasuk UU Agraria, UU Kehutanan dan UU Pengelolaan dan Perlindungan LH menyebutkan soal pengakuan atas keberadaan masyarakat adat. Tetapi, dalam tataran implementasi kebijakan, tak satupun yang benar-benar mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat lokal dan adat. Termasuk, dengan sengaja dilumpuhkannya TAP MPR/IX/2001 tentang Reformasi Agraria oleh setiap rezim pemerintahan pasca reformasi tahun 1998.
Dalam konteks pembaharuan tata kelola kehutanan terkait implementasi REDD+, asas keselamatan masyarakat (safeguard) yang ada di dalam dan di sekitar hutan menjadi sangat penting. Karena prinsip keselamatan dalam REDD+ merupakan bahagian yang melekat pada kepatuhan terhadap hak azasi manusia (HUMA, 2010). Jaminan terhadap kearifan sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan, jaminan terhadap tenurial lahan masyarakat agar mereka tetap berproduksi, dan jaminan terhadap kualitas lingkungan hidup yang baik.
Keberlangsungan proyek REDD+ di Sulawesi Tengah hanya akan berjalan jika beberapa syarat mendukung. Pertama, perbaikan pada level hukum, kebijakan serta kelembagaan tata kelola kehutanan. Kedua, penyelesaian konflik-konflik tenurial hutan yang selama ini menjadi bom waktu. Ketiga, penerapan asas keselamatan masyarakat (safeguard) dalam setiap implementasi proyek REDD+. Keempat, implementasi REDD+ tidak boleh didesain hanya sebagai proyek kehutanan belaka.
Andai saja pemerintah kita mampu menemukan solusi cerdas terkait keberadaan masyarakat di 724 kampung yang bersinggungan dengan hutan itu, mungkin jalan terang reformasi tata kelola hutan di daerah ini bisa didapatkan. Dan, substansi REDD+ di Sulawesi Tengah hanya dapat dicapai jika syarat-syarat tersebut terpenuhi.
——————————————-
*Penulis, bekerja di Yayasan Merah Putih sebagai Koordinator Pokja Pantau REDD Sulawesi Tengah, tinggal di Kota Palu