Sederet Konflik Lahan Perusahaan Sawit Astra di Sulteng

Empat petani Desa Polanto Jaya, Donggala Sulteng, hingga kini masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Mereka dituduh mencuri buah sawit lima hingga tujuh ton di wilayah klaiman PT Mamuang, anak usaha PT Astra Agro Lestari (AAL).

Abdul Haris, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah mengatakan, warga mengambil sawit di pohon yang mereka tanam sendiri, seluas 42 hektar dan mengantongi sertifikat, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

Warga, katanya, mampu membuktikan surat-surat tanah dan sawit mereka tanam sendiri. “Tetapi diklaim Mamuang, kebun warga berada di dalam konsesi atau HGU mereka,” katanya.

Kasus ini, katanya, secara lokus kejadian perkara yang dianggap perbuatan melawan hukum, justru di Sulteng. Orang-orang sebagai tersangka berada di Sulteng, tetapi proses pengadilan di Sulbar.

Haris bilang, upaya kriminalisasi itu merupakan rentetan dari serangkaian konflik sebelumnya. Pada 1994, PT Lalundu II, anak usaha AAL menyerobot lahan transmigrasi 182 hektar di Desa Polanto Jaya.

Konflik antara warga dengan anak perusahaan perkebunan sawit di Sulteng itu, bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, anak perusahaan AAL lain, PT Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, diduga kuat menggunakan kekuatan militer untuk membungkam perlawanan para petani.

Tahun 1990-an, anak perusahaan lain, PT Lestari Tani Teladan (LTT), Mamuang, PT Pasang Kayu di Sulawesi Selatan(sebelum pemekaran), juga mengusir dan menyerobot lahan masyarakat adat Suku Kaili Tado di Desa Mbulava.

Konflik terjadi lagi tahun 2004. Kala itu, LTT, dibantu Brimob menyerobot lahan masyarakat di Desa Taviora, Minti Makmur, Tinauka dan Rio Mukti.

Penyerobotan, katanya, dengan intimidasi, penembakan membabi buta dan penculikan. “Tiga warga Minti Makmur dipenjara empat bulan karena merampas senjata Brimob yang datang ke desa untuk pengamanan di perusahaan Astra ini,” katanya.

“Saat bersamaan, Kepala Desa Minti Makmur, menghilang dari desa meninggalkan anak istri. Ada yang menduga dihilangkan secara paksa,” katanya.

Konflik berlanjut pada 5 April 2004. Kala itu, Mamuang dibantu Brimob Polda Sulbar menyerobot tanah milik warga Desa Polanto Jaya Kecamatan Rio Pakava, Donggala. Mamuang mau perluasan perkebunan. Warga bertahan, tetap berkebun seluas 42 hektar dengan 27 pemilik.

“Bahkan intimidasi dan penembakan juga penculikan warga dilakukan Mamuang dibantu Brimob Polda Sulbar. Meski warga tetap bertahan, Mamuang lewat sekuriti dan preman juga kepolisian terus melakukan pelarangan,” katanya.

Menurut Haris, LTT, Pasang Kayu dan Mamuang juga merampas tanah milik warga Desa Tinauka, Bonewarama, Taviora, Rio Mukti, Polanto Jaya, Ngovi, Panca Mukti dan Minti Makmur, Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulteng, seluas 2.680 hektar. Padahal, warga punya bukti keepemilikan berupa SKPT dan sertipikat hak milik (SHM).

“Lewat kebijakan pemerintah, ANA merampas tanah masyarakat 7.000 hektar di Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara, tanpa ganti rugi. Keterlibatan Brimob juga terjadi. Di areal perusahaan, ada pos-pos dijaga kepolisian,” katanya.

Sumber: mongabay.co.id

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *