TALISE, MERCUSUAR – Kehadiran Perhutanan Sosial yang merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dilakukan dalam kawasan hutan negara/hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat, merupakan terobosan baru bagi masyarakat desa, namun diharapkan pengelolaan hutan tidak merusak fungsi.
“Kita inginkan ketika masyarakat diberi keluasaan mengelola hutan, tetap peduli dengan lingkungan. Sehingga perlu dilakukan penguatan terhadap masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan,” terang Arief Budi Setiawan, pada sosialisasi peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat dan kelompok peduli dengan lingkungan, Senin (20/11/2017) di salah satu hotel di Kota Palu.
Kegiatan itu menghadirkan empat pemateri, Arief sendiri merupakan pembahas dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Sulawesi, Akademisi Universitas Tadulako (Untad), Prof Dr H Juraid Abd Latief, MHum, Yayasan Merah Putih (YMP), Amran Tambaru, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulteng.
Arief mengilustrasikan pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat yang dilihat dari Tragedy of the Common tahun 1968 di Afrika. Di masa itu, pemerintah setempat memfasilitasi penduduknya untuk mengembala kambing di dalam satu padang sebab saat itu harga daging kambing cukup tinggi. Maka, berbondong-bondonglah masyarakat ke padang tersebut untuk mengembala kambing, semakin hari semakin bertambah.
Namun setelah itu masyarakat mulai memetakan lahan tersebut atas nama pribadi untuk memperoleh padang rumput yang lebih banyak, akibatnya hal itu menimbulkan konflik antarwarga. Tidak hanya itu, padang rumput juga menjadi rusak. Sehingga dari tragedi tersebut, kerusakan tidak hanya terjadi kepada alam, tetapi juga manusia.
“Kita tentunya tidak ingin kejadian ini terjadi di Sulteng. Maka dari itu, kebijakan perhutanan sosial juga harus terus dikawal, salah satunya membangun masyarakat yang peduli pada lingkungan,”terang Arief.
Sementara itu, Prof Juraid menjelaskan, masyarakat hukum adat pada umumnya bukanlah perusak. Mereka memiliki dan memegang teguh hukum adat yang begitu kuat. Seperti yang terjadi pada masyarakat terasing di Tomini, Kabupaten Parigi Moutong.
“Jadi mereka itu sangat sejahtera, jadi keliru kalau kita menyatakan mereka merusak lingkungan. Mereka memiliki hasil hutan damar dan itu dimanfaatkan untuk dijual, tetapi mereka masih memiliki aturan sendiri manakala menebang hutan,” terangnya.
Dijelaskannya masyarakat adat memiliki cara tersendiri dalam mengelola hutan dengan berpegang teguh pada adat yang sudah diturunkan secara turun-temurun. Masyarakat hukum adat percaya bahwa ada hubungan antara manusia dan alam lewat kepercayaan yang mereka anut.
“Tahun 70’an, peneliti Amerika datang ke tempat masyarakat hukum adat, dan mereka mengakui bahwa penerapan hukum adat sangat efektif sebagai pedoman untuk mengatur masyarakat,”tutup Juraid. INT
Sumber: Mercusuar, 21 November 2017