Solidaritas tak mengenal batas. Di bawah terik matahari yang menyengat kulit di Kota Palu, puluhan aktivis lingkungan dan mahasiswa menyatukan barisan. Hari itu, Rabu 22 Maret 2017, mereka berkumpul di depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah, untuk bersolidaritas terhadap perjuangan petani Kendeng menolak pabrik PT Semen Indonesia. Aksi ini tepat sehari setelah meninggalnya Bu Patmi, perempuan pejuang dari Kendeng, yang setiap hari menyemen kakinya di depan Istana Presiden Indonesia, sebagai bentuk protes terhadap rencana pembangunan pabrik semen di kampungnya.
Bagi puluhan aktivis yang berdemonstrasi itu, rentang Palu dan Kendeng memang berjarak. Namun suara-suara perempuan Kendeng yang tak kenal lelah menyemen kakinya di depan Istana Presiden, demi menyelamatkan sumber air pegunungan Kendeng dari gusuran pabrik Semen Indonesia yang bakal dibangun dalam waktu dekat, menginspirasi meluasnya dukungan hingga ke Palu. Simpul solidaritas atas nama kemanusiaan pun terjalin di kota ini. “Dari Palu Untuk Kendeng”, tulisan slogan di salah satu papan yang diusung oleh massa aksi.
Rara, panggilan akrab perempuan muda itu, merelakan kedua kakinya untuk disemen sejak pukul 09:00 pagi hingga pukul 15:00 sore. Bersama ketiga orang temannya, perempuan muda ini maju sebagai relawan “menyemen kaki”, untuk turut merasakan bagaimana sedih dan pedihnya perjuangan masyarakat Kendeng melawan kazaliman penguasa yang lebih mencintai butiran semen ketimbang air sebagai kebutuhan dasar manusia. Suatu ironi di tengah pencitraan pemerintahan yang populis dan pro rakyat era Presiden Jokowi.
Tak ada kemegahan sound system apalagi gemuruh teriakan massa dalam aksi tersebut. Yang terwujud ialah keheningan bersama setelah Korlap memimpin massa aksi menyanyikan lagu “Darah Juang”. Empat orang relawan yang terdiri dari dua perempuan serta dua laki-laki, secara bergantian dengan penuh khidmat, merelakan kaki-kaki mereka dibebani gumpalan semen yang basah. Perlahan-lahan semen itu membeku, menjadi padat dan membelenggu kaki-kaki mereka. Barisan “semen kaki” tersebut kemudian berjejer rapi di pinggir jalan utama Kota Palu. Relawan “semen kaki” dengan suara bisunya tapi dengan tatapan tajam seolah mengajak setiap pengendara di jalur utama itu untuk melihat “simfoni kemanusiaan” di “etalase kerakusan politik dan uang”.
Di penghujung aksi, keempat relawan “semen kaki” menyampaikan testimoni. Mewakili ketiga rekannya yang lain, Rara berujar “kami menyadari bahwa menyemen kaki selama tujuh jam bukanlah apa-apa ketimbang petani Kendeng yang sudah berhari-hari menyemen kakinya untuk mencari keadilan”. Ya, aksi “semen kaki” hari itu memang direncanakan untuk tujuh jam saja, sebagai gema pertama aktivis lingkungan dan mahasiswa di Kota Palu untuk Petani Kendeng. “Ini aksi permulaan, kami akan kembali dengan jumlah orang yang lebih banyak lagi untuk menyemen kaki, solidaritas untuk Kendeng, salut untuk Bu Patmi”, sambung Rara mengakhiri testimoninya sore itu.
Hingga aksi massa bubar, tak satupun anggota DPRD Sulawesi Tengah yang datang menemui massa aksi. Mungkin tebalnya dinding gedung parlemen daerah itu sehingga suara senyap relawan “semen kaki” tak terdengar di kuping anggota DPRD itu. Sebelum bergegas kembali ke sekretariat WALHI Sulteng, sang Korlap berorasi “wahai bumi pertiwi, saksikanlah bahwa hari ini tetesan peluh dari tubuh kami mengantarkan kepergian pejuang Kendeng, Bu Patmi menuju pangkuanmu, hidup petani Kendeng, lawan kezaliman”.
*Penulis Azmi Sirajuddin, adalah anggota Dewan Nasional WALHI, juga bekerja di Yayasan Merah Putih (YMP) Palu