SILO 22 “BENCANA ITU AKHIRNYA DATANG JUGA”

BANJIR… banjir …. banjir …!  Musibah itu datang lagi, petaka itu pun renggut korban lagi. Masih segar dari ingatan ketika benca-na yang sama dialami warga Kota Palu ketika sungai yang membela ibu kota itu meluap dan merendam sejumlah rumah yang berada di sekitarnya.

Walau tak sampai merenggut korban jiwa tapi setidaknya membuat warga menjadi menderita dan semua pihak menjadi terperangah bahwa ternyata sejumlah wilayah yang kita tinggali kian tak aman untuk didiami.

Kali ini musibah menimpah wilayah di ujung timur Sulteng, Kabupaten Morowali. Hujan deras  sepanjang Juli lalu yang mengguyur Sulawesi Tengah menyebabkan terja-dinya bencana banjir ban-dang disertai tanah longsor.

Banjir dan longsor di Moro-wali kali ini, merupakan ben-cana banjir yang terbesar sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir di Sulawesi Te-ngah. Bencana ini dirasakan oleh 18.142 jiwa penduduk di Kecamatan Bungku Utara, 7.933 jiwa di Kecamatan Mamosalato, 28.662 Jiwa di Kecamatan Petasia dan 4.945 jiwa di Kecamatan Soyojaya.

Informasi yang dihimpun dari Divisi Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa banjir dan tanah longsor yang terjadi 21 Juli lalu merupakan dampak dari destruktif logging serta salah urus pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Akibat dari banjir dan tanah longsor itu telah melulu-lantakkan empat kecamatan di Kabupaten Morowali, dengan ketinggian air yang melebihi tiga meter. Banjir ini menelan korban jiwa mencapai 116 jiwa meninggal dunia, ratusan rumah rusak berat dan tenggelam serta ribuan hektar lahan pertanian rusak.

Beberapa penyebab dari banjir itu adalah akibat ketidak-pastian iklim, indikasi dari efek pemanasan global yang menjadi kekhawatiran penduduk dunia saat ini. Secara khusus, berdasarkan pengamatan Walhi Sulteng, biasanya pada bulan Juli, wilayah Sulawesi Tengah maupun Morowali  tidak terjadi peningkatan curah hujan, akan tetapi tiga tahun terakhir justru telah mengalami kondisi yang sebaliknya.

Penyebab lainnya adalah peningkatan kerusakan atau deforestrasi hutan. Berdasarkan analisa Walhi Sulteng, Kabupaten Morowali yang dulunya memiliki tutupan hutan yang cukup luas dalam perkembangannya telah mengalami peningkatan deforestrasi yang cukup signifikan dengan tingkat rata-rata degradasi hutan berkisar sekitar 20.260 hektar pertahun atau sekitar 3,29 persen dari total luasan hutan Kabupaten Morowali.

Berdasarkan hasil analisis Walhi Sulteng, deforestrasi hutan di Kabupaten Morowali lebih dipicu oleh penguasaan kawasan hutan atas nama Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit dengan total luasan 19.509 hektar, pertambangan 71.590,007 hektar, HPH 105.000 hektar dan yang diberi Izin Pemanfaatan Kayu Tamah Milik (IPKTM) 1.770 hektar.

Selain penguasaan hutan atas nama konsesi, deforestrasi hutan di Morowali juga dipicu oleh tindakan illegal logging yang melibatkan masyarakat setempat yang dibacking oleh para cukong-cukong  lokal, belum lagi tindakan para pemilik IPKTM yang melaku-kan tebangan di luar areal konsesinya.

Tak hanya itu, akibat salah urus DAS yang ditunjukkan dengan belum adanya suatu strategi penanganan secara serius yang dilakukan oleh pe-merintah daerah baik propinsi maupun kabupaten.

Kondisi sungai di Morowali seperti Sungai Laa, Sungai Salato, Sungai Bongka dan Sungai Morowali berdasarkan amatan Walhi Sulteng telah mengalami kerusakan baik di hulu maupun di hilir. Hampir rata-rata sungai-sungai tersebut mengalami kerusakan pada sisi kiri-kanannya akibat tindakan penebangan kayu. Belum lagi diperparah dengan tindakan yang dilakukannya oleh para pemilik-pemilik IPKTM dengan membuat sungai-sungai buatan yang merubah rona lingkungan dan bentangan alam.

Juga ketimpangan pemanfaatan ruang sangat jelas ditunjukkan dengan intervensi kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) yang sangat liberal dalam memberikan legali-sasi terhadap eksploitasi (pengusahaan maupun pemanfaatan ruang) pada kawasan hutan. Itu ditunjukkan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK), Hak Guna Usaha (HGU), Izin konversi hutan untuk pertambangan dan lain-lain atas nama kepentingan pembangunan dan pendapatan ekonomi daerah, tanpa mengindakan pola keseimbangan alam/ruang.

Hmmm…..***

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *