WAJAH Kalendeng telah berubah. Tergambar jelas gunung tersebut kini meranggas. Hampir tak ditemukan lagi tegakan pohon. Saat tepat di sisi selatan, potret buram semakin terkuak. “Wah kalau di Norwegia, ini tak ditoleransi,” ujar Anja, salah seorang aktivis NGO asal Norwegia yang datang berkunjung di kawasan Bulang. Menurut Anja, pemerintah di negaranya sangat melindungi kawasan hutan. Karena hutan berperan penting merawat ekosistem agar tidak musnah.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Lihatlah, deforestrasi benar-benar merubah wajah Kalendeng. Gunung itu dan kawasan di sekitarnya seolah tak berpengharapan lagi. Yang tersisa, selain semak-belukar, hanyalah tanah tandus. “Kenapa kawasan ini bisa gundul?”, tanya Anja. Kawasan Kalen-deng hingga dataran Bulang dulukala menjadi areal HPH. Salah satu perusahaan yang aktif pada masa itu bernama Palopo Timber.
Komunitas Tau Taa yang bermukim di sekitar kawasan itu, sangat hapal perusahaan itu. Sepanjang tahun 1990-an, aktivitas pembalakan berlangsung ekstraktif. Hingga, tak pernah memi-kirkan dampak yang ditimbulkan setelahnya. Kini, deforestrasi hadir di hadapan kita. Dan, dengan mata telanjang, kita menyaksikan pemandangan pilu itu.
Setiap orang yang sering berpergian ke Bulang, pasti mengenal betul kawasan ini. Selain karena gunungnya yang sudah gundul, juga ada jalan mendaki bernama “pendakian Kalendeng”. Dari jalan mendaki di kaki Kalendeng itu, hingga ke desa Bulang Jaya, deforestrasi jelas di depan mata. Radius deforestrasi itu jika dihitung, bisa mencapai 15 kilometer.
Sepanjang jarak itu, seluruh hutannya telah musnah. Sepanjang jarak itu pula, kita hanya menyaksikan pohon-pohon kering tak berdaun. Layu dan hanya menjadi tonggak bisu. Pohon kering, layu dan meranggas, bercampur debu tanah tandus. Semuanya menjadi saksi alam, betapa manusia begitu buruk memperlakukan alam semesta. Pohon ditebang tanpa batas, ketika mendapatkan kayu, areal dibiarkan merana. Tak ada satupun pohon yang ditanam ulang oleh pengambil kayu. Mereka mengambil dengan rakusnya, tanpa berpikir menghidupkan pohon kembali
Aktifitas di Sungai Balingara pun tak kalah hebat-nya. Beberapa orang silih berganti menghanyutkan kayu ke hilir. Kayu yang dihanyutkan tersebut sudah setengah jadi. Bahkan sudah ada yang sebagian berbentuk papan dan balok panjang. Kayu-kayu itu dihanyutkan dengan cara diikat satu dengan lain-nya. Hingga berbentuk semacam rakit kayu. Laki-laki yang memandunya, naik di atas rakit itu. Dengan sedikit bertumpu pada deras air, rakit kayu bergulir cepat. Deru mesin chainsaw menderu bersahutan.
Kemungkinan besar, pembalakan liar memang sedang berlangsung di sekitar desa Balingara (Longge bawah). Sebab, belum lama ini, sejumlah media lokal Sulteng sempat memberitakan tentang itu. Sayangnya, tidak ada respon dari pihak berwenang. Padahal, tak jauh dari jembatan Balingara, terdapat dua pos jaga Polisi. Di sebelah timur, berdiri pos jaga Polres Banggai. Sedang di sebelah barat, milik pos jaga Polres Touna. Bahkan, pos jaga Polres Banggai selalu lebih ramai. Karena, dari beberapa kali melintas di jembatan itu, Pos tersebut selalu dijaga lebih dari dua orang.
“Apakah aktivitas pembalakan ini diketahui Polisi?,” tanya Anja. Badri, Manager Kantor Lapangan YMP di Ampana mengangkat bahu. “Mungkin ya, mungkin pula tidak”. Tapi, kelihatannya Anja heran. Dalam benaknya, kejadian tadi ada kejanggalan. Mungkinkah, perakitan kayu (Ba’ilir)itu tidak diketahui oleh kedua Pos Polisi tersebut? Karena aktivitas itu sangat dekat dengan Pos Polisi.
Jika mereka menghanyutkan kayu hingga ke muara, pasti melawati jembatan Balingara. Dan pasti Polisi melihatnya. Kalaupun hanya sampai ke kampung, pasti dilihat juga oleh Polisi yang berjaga di kedua Pos tersebut. Karena jarak kampung dengan Pos hanya sekitar 100 meter saja. Kalaupun Polisi tidak tahu, pasti aparat desa setempat mengetahuinya. Dan, kalau kayu-kayu tersebut sumbernya illegal, kenapa polisi tak mau tangkap?