Salam Hormat Buat Pembaca SILO
DEGRADASI hutan dan deforestasi atau singkatnya kerusakan hutan di berbagai belahan bumi serta tingginya emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri telah memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan iklim dan pemanasan global akibat meningkatnya gas rumah kaca.
Untuk menjawab permasalahan global ini, maka disepakatilah Program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation disingkat REDD, atau dalam bahasa Indonesia sebagai program pencegahan perubahan fungsi kawasan hutan dan penurunan kualitas hutan, banyak pihak meyakini REDD merupakan solusi handal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi mesin penyebab perubahan iklim itu, meski tak sedikit pula kalangan yang meragukannya.
Dengan program REDD Dapat dipastikan ratusan triliun rupiah akan mengalir dari Negara maju ke Negara berkembang yang akan melaksanakan program REDD. Indonesia sebagai salah satu Negara yang berperan aktif mendorong program tersebut akan menjadi salah satu Negara penerima dana tersebut, apalagi pemerintah Indonesia Melalui Presiden telah menyatakan Komitmen penurunan emisi nasional sebesar 26 hingga 41 persen.
Departemen Kehutanan sebagai ujung tombak pelaksanaan REDD bergerak cepat dengan mengusulkan beberapa wilayah propinsi untuk masuk dalam wilayah program tersebut. Saat ini sekitar 30-an pilot project telah berjalan di Indonesia, hal ini bertujuan untuk menyiapkan Negara berkembang dalam menyongsong pelaksanaan REDD, akhir 2012 nanti.
Salah satu dari sekian banyak pilot project tersebut adalah UN-REDD, sebuah program persiapan yang di danai oleh PBB. UN-REDD dilaksanakan salah satunya di Sulawesi Tengah, untuk kesiapan pelaksanaanya Gubernur Sulawesi Tengah telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pengangkatan Kelompok Kerja (Pokja) REDD, tertanggal 18 Februari 2011.
Konsekuensi logis yang akan lahir dari skema REDD adalah menjaga kawasan hutan dari segala potensi yang dianggap mengganggu kelangsungan hidup pohon dan semua tumbuhan dalam hutan. Bila hal ini tidak dicermati dan dikawal dengan baik oleh kompenen masyarakat sipil, maka kemungkinan masyarakat yang berdiam disekitar hutan dan selama ini berinteraksi dan menggantungkan hidupnya dari hasil hutan akan terancam penghidupannya.
Olehnya itu LSM yang konsern pada isu lingkungan hidup dan masyarakat adat mendorong dilaksanakannya prinsip dan mekanismeSafeguard dan Free and Pior Informed Consent (FPIC) yang dapat dimaknai sebagai persetujuan bebas tanpa paksaan, yang didahului dengan pemberian informasi yang memadai tentang pelaksanaan, sebab dan akibat dari adanya suatu proyek. Dengan kata lain sekelompok masyarakat bebas menentukan pilihannya setelah mengetahui seluk beluk sebuah proyek.
Dalam Safeguard menekankan keharusan mengakomodir hak masyarakat atas akses pada sumber daya hutan, hak atas distribusi manfaat yang adil (benefit sharing), hak prosedural untuk peran serta (pemantauan, pelaporan dan verifikasi),hak atas lingkungan yang sehat (hutan alam yang sehat/tidak ada tanaman rekayasa genetik, penanaman yang tidak tepat dan tidak terjadi kebocoran), hak terkait budaya, nilai-nilai adat, identitas dan wilayah adat dan hak otonomi (self determination).
Silo edisi 41 yang ada di tangan pembaca saat ini memilih tema UN-REDD Sulteng sebagai fokus liputan termasuk menyajikan hasil laporan pemantauan yang dilakukan sejumlah LSM di Sulteng yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang berdiam disekitar hutan khususnya di areal yang akan menjadi wilayah tapak REDD, bisa lebih memahami seputar program REDD dan menyikapinya secara kritis. Selain itu mungkin bisa menjadi informasi dan pembelajaran bagi masyarakat di wilayah lainnya.
Tentu saja sejumlah informasi lainnya juga tetap kami hadirkan dalam edisi ini, akhir kata kami dari redaksi mengucapkan selamat membaca, semoga memberikan banyak manfaat bagi pembaca.
Salam Hormat
Redaksi