Pembaca Yang Bijak,
SAAT ini hutan kita semakin terancam oleh perizinan skala luas. Fakta empiris menunjukkan perkebunan sawit di Sulawesi Tengah telah mencapai areal seluas 200.000 hektar. Tidak hanya itu, wilayah Sulawesi Tengah telah di kuasai 450 IUP yang dikeluarkan oleh Bupati. Dimana 177 izin berada di Kabupaten Morowali , yang luas areal pertambangannya justru melebihi luas daratan Morowali, parahnya lagi seluruh areal pertambangan tersebut berada di kawasan hutan.
Sayangnya konversi hutan untuk pertambangan dan perkebunan tersebut bukan hanya berdampak pada merosotnya tutupan hutan dan rusaknya kualitas lingkungan, tapi juga memiskinkan masyarakat tepian hutan. Data WALHI menyebutkan, tahun 2012–2013 total penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 33%, dimana separuhnya bermukim di tepian hutan di mana investasi pertambangan dan perkebunan sawit sedang berkembang pesat.
Bukan hanya itu saja, wilayah Sulawesi Tengah yang masuk dalam skema MP3EI dengan kosentrasi pertumbuhan ekonominya bertumpu pada produksi hasil perkebunan (perluasan dan pengembangan perkebunan sawit), kelautan dan pertambangan (biji besi dan nikel) telah menjadi ancaman baru, baik keberlangsungan hutan maupun kehidupan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan hutan. Bagaimana tidak, mega proyek yang haus lahan tersebut akan merambah hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga dapat di pastikan, masyarakat yang bermukim di tepian hutan bukan hanya di miskinkan tapi akan disingkirkan.
Untuk itu, demi memperkuat posisi masyarakat tepian hutan dalam menghadapi ancaman tersebut, maka perlu dibangun kesadaran kritis terkait perjuangan untuk keadilan pengelolaan sumber daya hutan, selain dari skema hutan adat dan hutan desa.***
SELAMAT MEMBACA…