Suprastruktur dan Infrastruktur Hutan Adat di Sulawesi Tengah

SECARA umum, Suprastruktur dan infrastruktur hutan adat yang dikelola oleh komunitas adat di Sulawesi Tengah sudah tersedia baik. Oleh karena itu,pengakuan secara legal oleh negara melalui pemberian Surat Keputusan (SK) pengakuan hutan adat kepada hutan adat Wana
Posangke maupun hutan adat To Kulawi merupakan hal yang wajar.

Sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor35/PUU-X/2012yang di keluarkan pada tahun 2013,tentang hutan hak.Dengan keputusan tersebut, seluruh hutan hak yang di kuasai dan di kelola komunitas adat menjadi domain komunal dalam bentuk hutan adat.

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya menurut Karl Marx, suprastruktur maupun infrastruktur mesti sejalin,agar semberdaya yang terkelola benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Jika suprastruktur adalah modalitas untuk menggerakan produksi, maka infrastruktur adalah upaya-upaya produksi yang bekerja secara nyata dilapangan.

Berkaitan dengan hutan adat di Sulawesi Tengah,relasi suprastruktur dengan infrastrukturnya juga mesti di lihat sebagai unit holistik. Mulai dari hukum adat yang di terapkan hingga relasi produksi konsumsi antar anggota komunitas adat.Terkait dengan hubungan itu,mari kita lihat fakta komunitas adat di Sulawesi Tengah. Komunitas adat seperti Tau Taa Wana, secara suprastruktur memiliki wilayah,komunitas,hukum adat,kelembagaan adat,tradisi,pengetahuan dan sistem nilai.

Modalitas ini sudah sejak lama mencirikan kehidupan mereka sebagai komunitas adat seperti yang di sebutkan oleh UUD 1945,UU Pokok Agraria tahun 1960,UU kehutanan tahun 1991, serta UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009. Syarat – Syarat di atas dapat menggerakan produksi komunitas selama ini.

Dari aspek infrastruktur,Tau Taa Wana secara ekologis bermukim di wilayah dataran tinggi dengan bentang alam pegunungan,hutan dan sungai. Secara sosiologis,kondisi tersebut menjadikan mereka peladang dan peramu hasil hutan.Tentu saja, sebagai peladang dan peramu hasil hutan,tanah menjadi alat produksi yang sangat sentral. Oleh sebab itu, mereka berikrar nempo masiasi ri tana mami (biar miskin asal tetap di tanah leluhur).

Agar siklus produksi – konsumsi menjadi berkesinambungan,mereka sangat bijak secara tata kelola,yang diturunkan secara spesifik kedalam tata guna hutan dan lahan berdasarkan peruntukan serta manfaat. Sistematika pengelolaan seperti Lipu (pemukiman),Navu (ladang utama),Wakanavu (Hutan Rimba),Pangale Kapali (hutan yang di lindungi),pangale pompalivu (Hutan Produksi),Pangale Bose (Hutan Primer), yopo mangura (belikar dengan usia tumbuhan di atas 10 tahun),yopo masia (belukar dengan usia tumbuhan di atas 10 tahun),

Relasi produksi-konsumsi antara anggota komunitas maupun dengan komunitas diluar mereka sangat menarik. Pada skala tertentu,mereka adalah komunitas yang masih memiliki sistem ketahanan pangan lokal.Ladang hanya diperuntukan untuk tanaman pangan,seperti padi,ubi, jagung dan sagu.Bahkan mereka mebudidayakan sekitar 20 varietes padi lokal.Khusus untuk padi sebagai simbol kehidupan,tidak boleh di perjualbelikan.jika ada orang lain membutuhkan, ia hanya boleh diberikan atau berbagi kepada sesama,tapi bukan komoditi untuk dijual.Karena menjual padi berarti menjual kehidupan.

Dukungan Eksternal

Dukungan eksternal dan multipihak terhadap hutan dalam bnetuk sokongan politik dan hukum adat sangat dibutuhkan. Misalnya untuk Tau Taa Wana yang bermukim di kabupaten Morowali dan Morowali Utara, ada Perda Morowali Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Wana Di Kabupaten Morowali.

Sehingga hutan adat seluas 6.212. hektar yang di kelola komunitas adat Wana Posangke,menjadi hutan adat pertama di Sulawesi Tengah yang memperoleh pengakuan legal oleh pemerintah melalui SK Menteri LHK Nomor 6743/MENLHK-PSKL/KUM/1/12/2016.Sedangkan bagi Tau Taa Wana yang bermukim di Kabupaten Tojo Unauna, ada Perda Tojo Unauna Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengukuan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana. Pada tahun 2016. Saat ini, usulan pengakuan hutan adat Tau Taa Wana di Tojo Unauna telah di sampaukan kepada Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan.

Adapun hutan adat To Kulawi di Desa Marena telah memperoleh pengakuan pemerintah pada tahun 2017, melalui SK Menteri LHK Nomor 1156/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL 0/3/2017 seluas 403 hektar. Sebelumnya,dukungan datang dari pemerintah kabupaten Sigi melalui Perda Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan Dan Perlindungan Masyarakat Adat Di Kabupaten Sigi.

Serta SK Bupati Sigi. Serta SK Bupati Sigi Nomor 189.1-521 Tahun 2015 tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat To Kaili dan To Kulawi Di Kabupaten Sigi. Selain dukungan dalam bentuk politik dan hukum, tentang dukungan jejaring pasar juga sangat di perlukan.

Dengan catatan bahwa jejaring pasar itu berorientasi kemaslahatan komunitas adat, bukan tujuan eksploitatif seperti layaknya rantai pasar pada umumnya. Pengelola hutan adat bersama komunitas mesti membangun mekanisme produksi-konsumsi-distribusi yang dapat memproteksi kepentingan komunitas adat mesti menjadi contoh bisnis sumberdaya alam yang anti eksploitatif dan berbasis ekonomi Sosial.

*)Penulis adalah Dewan Nasional Walhi,serta peneliti Ekosob di Simpul Sulawesi.

Sumber: Media Cetak (Radar Sulteng) 19 Februari 2018

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *